Kelima Kali.

2 1 4
                                    

“Justru karena hari ini adalah jadwal gue buat bagian jaga kasir. Makannya gue gak semangat,” keluh Panji sambil mengendurkan kedua pundaknya.

Panji tiba-tiba terdiam mematung seusai perkataan itu keluar dari mulutnya. Dahinya mengerut saat memikirkannya. Ada perasaan yang mengganjal di hati. Menurut Panji, perkataan yang keluar dari mulutnya tadi seperti mengalir dengan sendirinya.

“Lu kenapa? Muka lu kek belum makan,” celetuk Rian, “Lu gak sakit, ‘kan?”

“Enggak. Gue ngerasa seperti pernah mengalami semua keseharian ini, deh.”

Rian langsung mendecapkan bibirnya, “Lu habis makan apaan? Pagi-pagi gini malah ngomongin hal kayak gitu. Pasti semalam habis nonton video konspirasi di internet, dah.”

“Lu benar. Mungkin gue terlalu kebanyakan memikirkan sesuatu.”

Dengan kedua pasang langkah kaki yang cepat. Panji dan Rian berjalan keluar dari stasiun. Keduanya berbaur dengan beberapa orang yang mengenakan seragam putih abu-abu serta logo dari SMA Pelita Hebat. Sekolah itu yang menjadi tujuan Panji dan Rian.

Melewati jalan menanjak yang sepi dari kendaraan. Panji mendadak terdiam mematung di jalanan. Dia melihat keadaan di sekitarnya. Jalan raya yang berada di depan sekolah menuju stasiun seperti milik pribadi. Selain jarang dilalui oleh kendaraan. SMA Pelita Hebat berdekatan dengan beberapa blok perumahan yang damai.

Kedua mata Panji melirik ke seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang terlihat elegan. Jarak diantara keduanya sekitar sepuluh meter. Panji mengingat kalau gadis itu adalah Ketua OSIS di sekolahnya.

Seingat Panji, gadis itu bernama Gaby. Panji pernah melihatnya diantar menggunakan mobil. Apalagi dia memang berasal dari keluarga konglomerat. Namun, baru kali ini, gadis itu datang dengan berjalan kaki.

“Ah! Ini sangat menyebalkan!” seru Gaby dengan berlari ke arah sekolah.

Mendengar perkataan Gaby yang terdengar penuh kekesalan. Panji merasa kalau Gaby tidak akan mengatakan hal seperti itu. Dalam pikiran Panji, saat itu harusnya Gaby akan berjalan santai dan menyapa beberapa orang di sekitarnya.

Sebuah plang besar yang dibuat oleh para murid terlihat jelas di depan gerbang sekolah. Dengan huruf yang dibuat dari kayu, plang itu bertuliskan ‘Selamat Datang di Festival Sekolah SMA Pelita Hebat’.

Disudut kanan dekat gerbang masuk sekolah. Terdapat jam berbentuk bulat yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Walau suasana sekolah tidak dipenuhi oleh para murid. Tetapi, polusi suara yang diciptakan oleh beberapa orang di kelas mampu terdengar sampai ke gerbang kelas.

“Kau dengar? Semua orang bekerja keras menyukseskan festival ini, Panji,” sindir Rian dengan mengangkat sebelah alisnya.

“Iya-iya, gue dengar,” kesal Panji sambil mengalihkan pandangannya ke sisi lain.

Panji merasa aneh melihat semua pemandangan yang dia lihat. Dia yakin kalau pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dengan keyakinan yang tinggi, Panji berlari ke arah kelas dan meninggalkan Rian sendirian di belakangnya.

Napas Panji yang terengah-engah terdengar jelas ke beberapa orang di sekitarnya. Panji memang tidak menyukai pelajaran olahraga. Jadi, dia memang tidak terbiasa berlari sambi menaiki tangga.

Tidak butuh waktu lama. Panji sampai di depan kelas. Seingat Panji, Hani sedang berada di sudut ruangan sambil membaca novel fiksi ilmiah yang dia beli beberapa hari lalu.
Panji segera memasuki kelas sambil menyeka keringatnya. Pandangannya tertuju pada Hani yang berada di sudut kelas. Panji perlahan menaruh tasnya dan menyapa Hani.

“Lagi baca buku apa, Han?” sapa Panji sambil berjalan untuk melihat sampul buku yang dibaca oleh Hani.

Hani memeriksa sampul buku yang dia baca dan memperlihatkannya pada Panji, “Ini novel fiksi ilmiah yang baru saja terbit pada beberapa hari lalu. Ceritanya tentang perputaran waktu tanpa akhir yang menimpa sekumpulan remaja.”

“Terdengar seperti bacaan yang lu banget,” puji Panji.

Kedua mata Panji membelalak mendengar perkataan Hani. Panji terperosok ke lantai sambil memegang kepalanya menggunakan tangan kanannya. Sesuai dengan pemikiran Panji, kalau dia memang pernah melihat semua ini.

Belum saja, Panji menenangkan pikirannya. Dari arah luar terdengar suara teriakan beberapa orang yang berasal dari lapangan.

Semua orang segera berlarian untuk melihat apa yang sedang terjadi. Begitu juga dengan Panji yang tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Dia tidak bisa menyimpulkan semua yang dia alami saat ini.

“Ketua OSIS!”

“Itu tidak mungkin!"

“Panggil ambulan....!”

Mata semua orang tertuju pada tubuh gadis yang paling dikenal di sekolah. Sebagai Ketua OSIS yang terkenal rela membantu siapa saja. Tubuh Gaby tergeletak di atas taman bunga penuh Gardenia. Diketahui gadis itu bunuh diri dengan terjun dari lantai lima gedung sekolah. Bunga Gardenia yang berwarna putih itu perlahan berubah menjadi merah. Darah Gaby perlahan mengalir dari kepalanya membasahi suasana hati semua orang pada pagi itu.

Hari Terakhir Di Bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang