•
•
•Moora termenung menatap sebuah benda kecil di tangannya. Setelah ia sadar, dokter penjaga UKS itu memberikan name-tag pria tadi yang menolongnya. Dirinya mengusap-ngusap name-tag itu dengan lembut. Bayangan-bayangan indah mulai muncul dipikirannya. Meski diakhir bayangan itu terlintas suatu kejadian yang menyakitkan, Moora tetap tersenyum dengan air mata yang bergerumbul di sudut matanya, siap untuk terjun dan menciptakan sebuah tangisan.
Ceklekk...
Seseorang membuka pintu membuat Moora dengan segera menghapus air matanya. Kini ia tengah terduduk di atas brankar UKS.
"Nak Moora, sudah baikan?" Dokter wanita yang dikenal dengan nama 'Lestari' itu tersenyum ramah sembari membawa satu buah kresek putih ditangannya. Moora hanya mengangguk menanggapinya.
Dokter Lestari mengeluarkan sesuatu dari kresek putih itu. Isinya adalah satu porsi bubur. Dengan lembut, satu mangkok bubur itu beliau daratkan pada tangan Moora. Moora terheran menatap bubur dan Dokter Lestari bergantian. Dokter Lestari yang mengerti arti tatapan itu tersenyum dengan tawa kecil yang mengiringinya. "Ini, makan cepet, kamu pasti belum sarapan, kan?"
Moora mengangguk. Satu pertanyaan tiba-tiba melintas dipikirannya. UKS menyediakan makanan berat seperti nasi yang disediakan untuk keadaan seperti ini, memberinya kepada siswa-siswi yang pingsan karena belum sarapan sepertinya. Lalu, kenapa Dokter Lestari memberinya bubur? Padahal tidak ada menu itu di UKS. Atau kebetulan makanan berat disana sedang kosong jadi Dokter Lestari membelikannya bubur?
"Kamu kan punya lambung, jadi ibu beliin bubur, soalnya lambung kamu lagi kambuh. Kalo udah makan, ini minum obat ini-" Dokter Lestari meletakkan segelas air dan beberapa butir obat putih di atas nakas samping brankar. "obat ini bisa mencegah kambuhnya asma kamu, apalagi kamu tadi berdiri disana sekitar satu jam, kan?"
Moora tertegun mendengar ucapan Dokter Lestari, bagaimanapun ia belum memberitahu siapapun di Semarang bahwa ia memiliki riwayat penyakit seperti itu, Azra dan Bu Asri bahkan tidak mengetahui hal ini, apalagi keluarga kandungnya di Jakarta. "Ibu tahu darimana?"
Dokter Lestari tertawa kecil lalu duduk di sebelahnya. "Cowok blasteran yang nolongin kamu yang ngasih tahu. Pacar kamu, ya? Hihi."
Moora menggelengkan kepalanya pelan. "Blasteran? Cowok yang pake name-tag ini?"
Dokter Lestari mengangguk. "Iya, dia bukan siswa sekolah ini. Seragamnya beda, dia ganteng banget tahu, Moora, kayak bule gitu, rambutnya pirang matanya warna hazel, Ra. Ganteng, gentle, dan kalo kamu tau, dia sampe batalin kerjasama sekolahnya sama sekolah ini gara-gara tingkat kepedulian di sekolah ini rendah, kayak tadi pas kamu pingsan nggak ada yang peduli, kecuali dia. Kayaknya dia muter-muter nyari UKS tersembunyi ini, soalnya keliatannya capek banget gendong kamu. Dan name-tag yang kamu pegang, kayaknya itu nama dia."
Moora beralih kembali menatap name-tag di sebelah tangannya. Senyuman bahagia mulai terukir di bibirnya. "Ibu tahu dia dari sekolah mana?"
"Emm, enggak deh. Soalnya tadi ibu nggak sempet liat logo sekolahnya apalagi nanya sama dia. Soalnya dia kayak khawatir banget sama kamu. Dia mondar-mandir nunggu kamu diperiksa diluar. Dia pacar kamu, kan? Peduli banget dia sama kamu, ibu terharu tahu.. Hebat lagi kamu bisa dapetin cowok blasteran gituu."
Senyuman itu perlahan luntur dan menyisakan senyuman tipis di bibir pucat Moora. "Ibu, setelah ini saya boleh pulangkan?" tannya nya mengalihkan topik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Berkelip
Teen Fiction"Jika memang aku sebuah pena, maka akan aku usahakan aku tetap berguna walau tanpa adanya tinta." Kalimat itu mampu menggambarkan harapan Moora. Meski ia tak tahu itu akan berhasil atau tidak, meski ia tahu tak akan ada yang mendukungnya, namun ia m...