1 : Angin Pagi di Kota Malang

156 20 4
                                    




Dianti.
Malang, Oktober 1989.

"Dianti!"

"Hoi, Dianti!"

"Heh!"

Sebuah tepukan keras bisa aku rasakan di punggungku yang berhasil membuatku menoleh cepat, berusaha untuk mencari tahu siapa pelakunya.

"Opo seh, Te?!" pekikku begitu melihat saudaraku yang akrab disapa Ete, malah tersenyum lebar setelah berhasil membuat punggung ku kesakitan, "Masih pagi jangan malah ngajak berantem!"

"Lah, awakmu tak panggil daritadi tapi nggak nyaut" jawabnya dengan nada santai sambil berjalan di sampingku. Tangannya ia taruh di pundak ku, membuatku berakhir meliriknya malas lalu menyikut perutnya pelan, "Orang lagi fokus jalan, malah digangguin". Memang Ete ini paling senang mengganggu orang lain, apalagi aku.

"Fokus tuh kalo ngerjain ujian! Bukan jalan!" pekiknya sambil tertawa meledek. Ah, andai saja Ete ini bukan saudara terdekatku mungkin sudah aku putus hubungan kami berdua. Siapa juga yang sudi harus berhadapan dengan dirinya setiap hari selain aku?

Sebelum cerita ini aku lanjut, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Dianti Raya. Aku biasa disapa oleh orang-orang dengan panggilan Dianti atau Dian. Panggilan yang lebih pendek adalah "Yan" bukan "Di" ataupun "An". Tapi kalau bersama saudaraku yang satu ini, dia lebih senang memanggilku dengan panggilan Hoi! dibandingkan dengan namaku selayaknya orang pada umumnya.

Aku dan Ete adalah saudara. Ibu ku adalah adik dari Ayah nya Ete. Atau kalau mau dijelaskan dengan bahasa yang lebih mudah, Ibu ku adalah tante nya Ete.

Nama lengkap Ete itu Hanenda Radiyanto, tapi sejak SMP ia lebih akrab disapa dengan panggilan Ete. Aku pribadi juga nggak tau juga asal usulnya darimana, tapi sepertinya Ete juga nggak keberatan punya panggilan unik seperti itu.

Rumahku dan Ete itu berdekatan, cuman beda jalan saja. Hal itu pula yang jadi alasan utama mengapa aku dan Ete menjadi sangat dekat apalagi kalau dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain. Semua kami lakukan bersama mulai dari belajar naik sepeda, menghabiskan uang jajan di Avia, atau makan soto di alun-alun kota. Karena itu, aku jadi merasa kalau Ete lebih cocok menjadi kakak ku ketimbang saudara kandung ku sendiri.

Aku dan Ete itu sebenarnya seumuran, walaupun kalau dilihat dari bulan lahir, aku lahir lebih cepat di bulan Maret sementara Ete lahir di bulan Juni. Sejak kecil aku sama Ete selalu pergi ke sekolah yang sama, kecuali saat SMA alias sekarang. Mungkin orangtua kami sudah terlalu malas untuk mencarikan sekolah, jadi mereka memilih untuk terus menyatukan kami berdua di sekolah yang sama.

"Arek SMA siji, ikut lomba basket minggu depan, tah?" pemuda yang tingginya lebih tinggi dariku beberapa sentimeter itu kembali membuka percakapan. Aku menoleh, lalu mengangkat bahu acuh, "Mboh. Ora ngurus"

Mendengar jawabanku yang terkesan cuek itu, Ete jadi tertawa, "Kamu sibuk belajar sih!"

"Santai aja lah sedikiiit, walaupun udah kelas dua belas tapi kita tetap harus senang-senang!" serunya dengan suara lantang dan berhasil membuat beberapa siswa yang berjalan dengan kami jadi menoleh. Aku meliriknya dengan tatapan sinis, "Suaramu iku cilikno!" (Suaramu itu kecilin!)

Aku menghela nafas kasar sambil memperbaiki poniku yang sedikit berantakan karena tertiup angin pagi yang cukup kencang. "Aku udah ngorbanin waktu ku untuk mengisi sandiwara radio. Kalo nggak di sekolah, kapan lagi belajarnya?"

Walaupun orang-orang suka menjuluki kami berdua dengan julukan 'si kembar', namun aku dan Ete itu sebenarnya punya kepribadian dan ketertarikan yang cukup berbeda. Dan sepertinya, siapapun yang lihat pun bisa tau perbedaannya.

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang