2 : Ete dan Teman

68 12 0
                                    

Dianti

Jarum jam menunjukkan angka dua belas dan bel pulang baru aja berbunyi, membuatku menghela nafas lega karena pelajaran yang membuatku pusing ini akhirnya selesai juga. Aku tersenyum tipis ke arah Pak Tano, guru geografi yang baru saja menyelesaikan kegiatan belajar mengajar di kelas ku. Beliau membalas senyumanku dan berjalan ke luar kelas, diikuti oleh beberapa temanku yang mungkin punya pertanyaan tambahan terkait pelajaran barusan. Kalau aku sih boro-boro punya pertanyaan, mengerti materi nya saja tidak.

Aku melirik ke bangku di sebelahku, menemukan sosok perempuan yang sejak sepuluh menit lalu sudah menaruh kepalanya di atas meja sambil memejamkan mata. Tawa kecil keluar dari mulutku ketika melihat sahabatku sejak kelas sepuluh itu sudah lelah dengan segala kesibukan kami sebagai murid kelas dua belas ini. Tanganku mencolek lengan nya pelan, "Heh"

"Ojok ganggu" ucapnya sambil masih memejamkan mata. Terlihat dari raut wajahnya yang lelah serta kantung mata yang semakin hari semakin tebal, "Aku butuh ketenangan beberapa menit. Hidupku wis nggak tenang sejak naik kelas dua belas"

Aku tertawa kecil lalu mendekat ke arahnya untuk berbisik, "Gelem mangan Bakso Cak Man, ora?"

Ia mendadak membuka matanya dengan cepat, menatapku dengan tatapan semangat sekaligus curiga. Mungkin dia bingung, kenapa aku tiba-tiba mau diajak pergi ke luar padahal biasanya aku lebih memilih untuk pulang langsung ke rumah, "Emangnya kowe ndhuwe duit?" (Emangnya kamu punya uang?)

Aku tertawa kecil. Sahabatku yang satu ini memang paling hafal soal aku. "Wingi aku abis gajian" ucapku dengan nada berbisik, "Tak traktir!"

Nggak pakai basa-basi, perempuan yang memiliki nama lengkap Niken Effendi itu langsung berdiri tegak dan menarikku ke dalam pelukan erat. Dengan cepat ia mengecup pipiku, membuat ku mendorongnya karena nggak terbiasa dengan afeksi seperti itu.

"I love you full!" serunya sambil berdiri, sementara aku memukulnya lengannya kencang, "Jangan cium-cium gitu!" sehingga berhasil membuatnya tertawa terbahak. Walaupun sudah nyaris tiga tahun berteman, aku masih tidak bisa terbiasa dengan cara Niken menunjukkan afeksinya.

"Ayo budal sak iki lek ngono! Keburu sore, mengko cece ku marah!" (Ayo berangkat sekarang kalo gitu! Keburu sore, nanti cece /kakak perempuan ku marah!)

Niken dengan tergesa membereskan barang-barangnya, membuat aku jadi tertawa kecil melihatnya. Padahal nggak sampai lima menit yang lalu, ia masih kayak mayat hidup yang baru selesai belajar geografi.

Aku dan Niken itu berteman dari hari pertama kami masuk SMA. Sebagai orang yang nggak bisa dengan mudah akrab sama orang lain, kedatangan Niken di hari pertama sekolah itu bagaikan malaikat. Karena Niken dan sifatnya yang nyablak itu jadi alasan utama kami berteman.

Semua berawal dari aku yang nggak tau harus berteman dengan siapa dan memilih untuk duduk sendirian di ujung kelas. Semua orang terlihat sudah memiliki teman, sementara aku yang terbiasa mengandalkan Ete dalam hal-hal bersosialisasi kayak begini, langsung mati gaya waktu sadar kami sudah nggak satu sekolah.

Aku masih ingat pada setengah jam pertama aku hanya diam, memainkan pena dan pensil yang ku bawa dari rumah karena terlalu bingung harus apa. Hingga akhirnya fokusku terpaku pada sosok perempuan yang masuk dengan senyuman lebar. Dari gerak-geriknya yang menyapa semua orang di kelas, berhasil bikin aku jadi semakin gugup melihatnya.

"Onok sing lungguh kene?" (Ada yang duduk disini?) adalah kalimat pertama yang dia ucapkan kepadaku. Parasnya cantik, kulitnya putih langsat. Rambutnya panjang sedikit bergelombang berwarna hitam legam. Belum lagi gelang dan anting yang ia pakai asalnya dari merk terkenal, biasa aku lihat di halaman kelima majalah yang Ibu beli tiap akhir minggu.

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang