Kartu titanium kembali diserahkan. Untuk kesekian kalinya Gulf menekan pin dan mengkonfirmasikan pembayaran atas benda-benda yang ia beli.
"Terima kasih banyak," ujar Gulf ketika pegawai wanita mengembalikan kartu titanium kepada Gulf.
Sinar matahari meredup, menyisakan cahaya orange di ufuk barat. Siluet gedung-gedung tinggi mempertegas keindahan kota. Sungguh kebahagiaan yang telah lama Gulf rindukan.
Siapa bilang tidak ada pekerjaan yang cocok untuk Gulf? Hari ini Gulf mematahkan kalimat itu. Berkat bekerja sebagai sekretaris mulai hari ini, Gulf akhirnya dapat merasakan kembali rasanya duduk manis didampingi tas belanja yang entah berapa banyak jumlahnya.
"Kenapa kita tidak bertemu enak awal?" tanya Gulf pada kartu titanium yang diberikan Mew kepadanya tadi siang.
Taksi VIP yang Gulf tumpangi berhenti di depan gedung Huruf Company. Senyuman bahagia tak kunjung pudar dari wajah rupawannya, terutama saat security membantunya membawakan tas-tas belanja itu. Rasanya seperti Gulf kembali ke kehidupan lama, kehidupan nyaman yang penuh pelayanan.
Gulf menggunakan id card nya untuk membuka ruangan Mew yang sekarang juga menjadi ruangannya. Di dalam sana, Mew duduk dengan tatapan kosong ke arah smartphone.
"Kenapa lagi orang gila itu?" gumam Gulf. Posisi Mew membuatnya merinding di sekujur tubuh.
"Harus diletakkan di mana semua ini?" tanya security pada Gulf.
"Letakkan saja di sana. Hati-hati," ujar Gulf memandu security ke arah sofa dan meletakkan tas-tas belanja itu dengan teliti.
"Apa semua ini?" tanya Mew dengan rendah. Tatapan putus asa ia arahkan kepada tas-tas belanja Gulf yang menumpuk. "Aku memintamu membeli keperluan pekerjaan."
"Ini semua keperluan yang aku butuhkan di meja ku," ujar Gulf santai.
Mew bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Gulf, menatap tas-tas belanja dengan merek barang yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. "Biarkan aku melihat keperluan yang kau beli."
Gulf berdeham canggung. "Kenapa kau ingin tau?"
"Karena kau menggunakan kartu pribadiku," ujar Mew menahan geram. Memang salah Mew karena tidak memperhatikan kartunya,tapi tetap saja bukan akhir seperti ini yang Mew kira. Gulf benar-benar menghabiskan banyak uangnya. Itu membuat Mew merasa dirinya memiliki hak untuk menanyakan keperluan apa saja yang dibeli Gulf hingga menghabiskan seperempat dari sisi kartunya.
"Bukan urusanku. Kau memintaku membeli keperluan ku, jadi aku melakukannya."
"Kalau begitu beritahu aku, keperluan apa yang sudah kau beli."
Gulf membuka tas belanja pertama yang berisi miniatur Kincir angin.
"Kau tidak butuh itu di meja kerjamu," Mew masih berusaha bersabar sembari diam-diam memikirkan cara untuk memasukkan pengeluaran Gulf ke dalam tagihan pegawai.
"Tentu saja aku perlu. Ini baik untuk relaksasi," Gulf buru-buru meletakkan Kincir anginnya di atas meja, membuktikan kepada Mew bahwa benda itu diperlukan di sana.
"Berapa harganya?"
"Murah."
"Berapa?"
"Satu juta tujuh ratus."
"Satu juta tujuh ratus?" pekik Mew.
"Ini bisa bergerak. Lihat! Juga ada lampunya," Gulf menekan tombol on, berusaha meyakinkan Mew bahwa benda itu pantas di beli.
"Lalu? Apa isi tas selanjutnya?" tanya Mew lebih pelan. Bahkan Mew tak pernah seringan Gulf dalam menggunakan uangnya sendiri.
"Ini?" Kali ini Gulf lebih percaya diri mengangkat salah satu tas belanja. Gulf yakin Mew tidak akan menunjukkan reaksi negatif. Namun, itu justru membuat Mew hampir pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Bos Like a Secretary
FanfictionKesan tidak mengenakkan yang menjadi awal pertemuan Mew dan Gulf membawa mereka pada hal-hal tidak terduga yang penuh kekonyolan dari waktu ke waktu. Akankah Mew, yang siklus hidupnya selalu terjaga, membiarkan Gulf, yang tidak ramah dan ceroboh, m...