BAB III

2 0 0
                                    

BAB III

Narendra duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit dengan kepala tertunduk, tangannya menggenggam erat ujung lutut. Pikiran-pikirannya berputar tanpa henti, semakin kacau setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan dokter. Miwa sedang hamil muda. Dan lebih dari itu, ia tahu dengan pasti—janin itu adalah anaknya. Malam itu... malam yang tak terduga dan kacau adalah awal dari segalanya.

Dia mencoba mengingat lebih jelas. Meski malam itu dibalut oleh pengaruh alkohol, ia tak bisa melupakan bagaimana ia dan Miwa akhirnya bersama, dan bagaimana perasaan campur aduk yang menyelimuti dirinya setelah kejadian itu. Miwa adalah yang pertama baginya, dan sebaliknya, ia tahu bahwa dia pun yang pertama bagi Miwa.

"Bagaimana bisa begini?" gumamnya dalam hati, perasaan bersalah kembali menggelayut dalam pikirannya.

Miwa yang kini terbaring lemah di dalam ruangan perawatan, tak hanya harus menghadapi kelelahan fisik dan mental, tapi juga membawa beban yang lebih besar.

Narendra meremas rambutnya dengan frustrasi, kepalanya penuh dengan berbagai pikiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tidak pernah mengira ini akan terjadi, apalagi di situasi yang penuh kebingungan seperti sekarang. Bagaimana Miwa akan bereaksi saat dia bangun? Apakah dia sudah tahu? Atau ini akan menjadi kejutan yang sama beratnya untuknya?

Setelah mengatur napas dan menenangkan pikirannya, Narendra akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke ruang perawatan. Saat pintu terbuka, tatapannya langsung jatuh pada sosok Miwa yang masih terbaring lemas di atas ranjang, dengan mata terpejam. Wajahnya terlihat pucat, namun tetap ada kedamaian di sana, meskipun tubuhnya terlihat begitu rapuh. Narendra berdiri di samping ranjang, menyaksikan perempuan yang pernah begitu dekat dengannya, dan entah bagaimana, kini nasib mereka terjalin dalam sesuatu yang lebih rumit.

Saat memasuki ruangan ini, Narendra telah membuat keputusan. Ia tidak akan lari dari apa yang telah terjadi. Dengan segala kekacauan yang menghantui pikirannya, satu hal menjadi jelas—ia harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, atas Miwa, dan terutama atas anak yang kini ada dalam kandungan Miwa. Mungkin saat ini Miwa belum tahu, atau mungkin dia sudah merasakannya. Tetapi sebelum dia membuka mata dan menyadari semuanya, Narendra sudah mengambil sikap.

Dengan tatapan lembut, Narendra melihat Miwa. Ia tahu jalan di depan tidak akan mudah. Ada banyak hal yang belum mereka bicarakan, banyak luka yang mungkin belum sembuh. Tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan lari.

Tidak lama setelah itu, Miwa mulai bergerak perlahan. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Rasa lelah masih tampak di wajahnya, dan kebingungan jelas terpancar di matanya saat ia menyadari di mana ia berada. Miwa melihat sekeliling dengan ekspresi yang penuh pertanyaan hingga pandangannya bertemu dengan sosok Narendra yang berdiri di samping tempat tidurnya.

"Pak Narendra...?" suaranya terdengar lemah, hampir seperti bisikan.

Narendra langsung sigap, mengambil gelas air yang ada di dekatnya. "Minum dulu, pelan-pelan," katanya dengan suara lembut, membantunya untuk duduk dengan hati-hati dan menyerahkan gelas itu ke tangan Miwa. Meskipun wajah Miwa tampak penuh kebingungan, dia tetap menerimanya, meneguk air sedikit demi sedikit. Setelah beberapa saat hening, suasana terasa semakin berat. Miwa masih terlihat bingung, dan Narendra tahu bahwa ini adalah momen yang tidak bisa dihindari lagi. Setelah memastikan Miwa merasa lebih nyaman, Narendra menarik napas dalam, mempersiapkan dirinya untuk berbicara.

"Miwa," ucapnya perlahan, suaranya sedikit gemetar, tetapi ia mencoba terdengar tegar. "Kamu ingat yang saya ucapkan malam itu."

Miwa menatap Narendra dengan kening berkerut, ia tahu kalimat yang dimaksud oleh Naren. Kalimat penuh kekosongan yang ia ucapkan saat malam itu. Miwa membasahi bibirnya, dengan masih tertunduk Miwa mulai membuka suara.

Langkah Dalam KebetulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang