BAB IV

7 0 0
                                    

BAB IV

Narendra masuk ke ruangan rawat inap dengan tangan penuh kantong plastik di kanan dan kirinya, isinya makanan dan minuman yang sengaja ia beli untuk Miwa. Langkahnya pelan, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan ruangan itu. Ketika ia melihat Miwa masih terduduk di tempat tidur, memandang layar ponselnya dengan tatapan yang sulit ditebak, ia mencoba meredam segala emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

"Hey," ucapnya lembut, mencoba membuka percakapan. Miwa hanya mengangkat kepalanya sekilas, lalu menunduk kembali, pikirannya tampak masih jauh dari tempat ia berada. Narendra meletakkan kantong-kantong belanjaannya di meja samping tempat tidur, memperhatikan Miwa yang terlihat semakin tenggelam dalam kebimbangan.

"Saya bawakan makanan. Kamu harus makan sesuatu," lanjutnya, meskipun ia tahu bahwa Miwa mungkin tidak tertarik. Namun, Miwa tetap terdiam, seolah tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Narendra.

Setelah cukup lama terdiam, Miwa akhirnya membuka suara.

"Nama saya Miwa Atania, Pak." Ucapnya, suaranya sudah tidak lagi bergetar, lebih tegas dan tenang dari sebelumnya.

Narendra, yang masih sibuk menata makanan yang dibelinya di meja kecil di samping tempat tidur, terhenti sejenak. Ia mendongak, memandang Miwa dengan alis terangkat, menyadari bahwa perempuan itu akhirnya berbicara, kali ini dengan nada yang berbeda.

Dia meletakkan botol air terakhir, lalu berbalik menghadap Miwa. "Miwa Atania..." ulang Narendra dengan pelan, seakan mencoba memahami maksud di balik perkenalan itu. Nama yang unik, pikirnya. Senyum tipispun terbentuk di bibirnya. "Kamu sudah siap bicara, Miwa?" tanyanya dengan hati-hati, berharap ini adalah langkah awal menuju kejelasan.

Miwa mengangguk pelan, tatapannya lurus menatap Narendra, seakan berusaha menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.

Miwa menarik napas dalam, menatap lurus ke arah Narendra sebelum melanjutkan. "Saya... yatim piatu, Pak. Nggak punya keluarga, nggak punya siapa-siapa. Sejak SMA, saya tinggal sendiri. Jadi saya kerja apa saja yang bisa saya kerjakan untuk hidup." Suaranya tetap tenang, meskipun ada nada kelelahan yang sulit disembunyikan.

"Saya bantu-bantu di acara EO temen saya, kadang-kadang terima pesanan gambar freelance. Tapi... ya, nggak pernah stabil." Miwa menundukkan kepalanya sebentar, seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. "Hidup saya kayak gini terus, nggak ada kepastian. Makanya saya mau... nyerah. Saya udah jual tablet dan peralatan gambar saya, biar nggak ada lagi yang ngingetin tentang mimpi yang nggak bakal kesampaian."

Narendra mendengarkan dengan seksama, merasakan perasaan getir yang membungkus setiap kata Miwa. Baginya, ada lebih dari sekadar rasa putus asa dalam pernyataan Miwa, tetapi juga kerapuhan yang membuatnya merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.

Narendra berhenti sejenak dari aktivitasnya menata makanan, mendongak untuk menatap Miwa. Rasa bersalah dan empati berbaur dalam pikirannya, tetapi ia tahu sekarang bukan waktunya untuk menunjukkan kelemahannya. Miwa sudah terlalu banyak menanggung beban, dan dia merasa seolah menjadi bagian dari semua kesulitan yang Miwa hadapi.

"Miwa..." ucap Narendra perlahan, sambil menghela napas. "Saya ngerti kalau kamu merasa ini berat, apalagi dalam keadaan sekarang. Tapi kamu nggak sendirian. Mulai sekarang, kamu nggak perlu jalanin semua ini sendirian."

Miwa mendongak, kali ini dengan tatapan yang bukan lagi kosong, tetapi penuh keyakinan dan penuh tanya. "Bapak yakin mau nikahin saya?" tanyanya dengan penuh harap, suara gemetar namun jelas. Pria itu mau bertanggung jawab, satu-satunya tanggung jawab yang terlintas diotak Miwa adalah, pernikahan.

Narendra tertegun sejenak, merasakan beratnya pertanyaan tersebut. Ia memandang Miwa dengan mata yang lembut, mencoba untuk menyampaikan ketulusan hatinya.

Langkah Dalam KebetulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang