Pagi di kota dimulai dengan hiruk-pikuk aktivitas. Di dalam sebuah rumah yang hangat dan nyaman, aroma kopi dan roti panggang mengisi udara. Di dapur, ibu sedang sibuk memasak sarapan sambil berdialog dengan Hana yang dengan ceria membantu dari meja dapur.
"Ibu, bolehkah Hana menambahkan garam ke dalam adonan?" tanya Hana sambil berusaha meraih bumbu dapur.
"Tentu, sayang. Tapi hati-hati agar tidak terlalu banyak," jawab ibu dengan senyuman lembut.
Sementara itu, di ruang keluarga, ayah duduk santai di sofa sambil membaca koran pagi. Sesekali ia mengangkat pandangannya dari halaman koran dan melihat sekeliling, menikmati suasana pagi yang tenang.
Di sudut ruangan lainnya, Ghazali tenggelam dalam permainan video di konsolnya. Suaranya yang penuh semangat bersaing dengan riuh rendah dari permainan yang dimainkan.
Farhan, di meja belajarnya, duduk serius dengan buku dan catatan yang tersebar. Ia fokus pada tugas sekolahnya, sesekali menulis catatan atau memeriksa referensi di buku pelajaran.
"Farhan, apakah kamu sudah siap untuk ujian minggu depan?" tanya ayah tanpa mengalihkan pandangannya dari koran.
"Ya, Ayah. Aku sudah belajar setiap hari," jawab Farhan tanpa menoleh, tetap fokus pada pekerjaannya.
Kehidupan pagi itu dipenuhi dengan rutinitas yang akrab dan menyenangkan. Momen sederhana ini mencerminkan keharmonisan keluarga yang penuh kasih. Mereka semua, dengan peran dan aktivitas masing-masing, berbagi hari-hari mereka dengan penuh kebersamaan.
Ketika aroma sarapan semakin menggugah selera, ibu menghentikan aktivitasnya di dapur dan memanggil seluruh anggota keluarga. Suaranya lembut namun penuh perhatian.
"Sayang, sarapan sudah siap! Ayo semua, waktunya makan pagi."
Di ruang keluarga, ayah melipat korannya dan berdiri, mempersiapkan diri untuk makan. Farhan meletakkan bukunya dan berdiri dari meja belajar, mengikuti panggilan ibu. Hana, dengan penuh semangat, segera berlari menuju meja makan.
Namun, Ghazali masih terpaku di depan televisi, jari-jarinya cepat menekan tombol pada konsol game, terlihat sangat asyik dengan permainan yang sedang dimainkannya.
"Gazali! Ayo cepat, sudah waktunya sarapan!" seru Farhan dengan nada tegas, memecah fokus adiknya.
Ghazali sedikit terkejut dan menoleh ke arah Farhan dengan wajah cemberut. "Sebentar, Abang. Aku hampir menyelesaikan level ini."
Farhan menghela napas panjang dan berjalan mendekati Ghazali. "Sudah cukup. Kamu tidak bisa terus bermain seperti ini. Kita harus disiplin dengan waktu. Sarapan adalah waktu yang penting untuk kita bersama."
Ghazali akhirnya menekan tombol pause pada konsolnya, meskipun tampak enggan, dan berdiri dari sofa. "Baiklah, baiklah. Aku akan datang sekarang."
Dengan langkah lambat, Ghazali menuju meja makan, bergabung dengan yang lain yang sudah duduk. Ibu tersenyum saat melihat semua anaknya berkumpul, sementara ayah mulai menyajikan makanan di meja.
“Terima kasih, Ibu. Sarapannya selalu enak,” ucap Farhan sambil memulai makanannya.
“Benar, Ibu. Terima kasih!” Hana menambahkan dengan antusias.
Saat mereka menikmati sarapan pagi bersama, suasana hangat dan penuh tawa mengisi meja makan. Ini adalah momen kebersamaan yang sederhana namun sangat berharga bagi mereka.
Setelah semua anggota keluarga berkumpul di meja makan, suasana pagi terasa semakin hangat. Ibu membagikan piring sarapan, sementara ayah mulai menuangkan jus ke dalam gelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tersesat di Antara Reruntuhan
Short Story**"Tersesat di Antara Reruntuhan"** Dalam dunia yang penuh dengan keindahan dan kebahagiaan, tiga saudara-Farhan, Ghazali, dan Hana-menikmati kehidupan yang penuh warna bersama keluarga mereka yang penyayang. Namun, hidup mereka berubah drastis ket...