Hari itu adalah hari Sabtu, dan suasana di rumah keluarga Farhan sangat ceria. Meski hujan gerimis mengguyur di luar, di dalam rumah, kehangatan terasa begitu kental. Mereka menghabiskan sore dengan berbagai kegiatan. Ghazali, yang sedikit demam sejak pagi, kini mulai merasa lebih baik setelah meminum obat. Wajahnya masih pucat, tetapi semangatnya tetap menyala.
"Ayo main kartu!" seru Ghazali, penuh semangat. Farhan, yang sedang membaca buku di sofa, tersenyum dan menutup bukunya.
"Baiklah, tapi jangan curang," kata Farhan sambil mengacak rambut adiknya. Hana pun ikut bergabung, berlari kecil menuju meja dengan wajah penuh kegembiraan.
Permainan berlangsung seru, diselingi dengan tawa dan canda. Hana bersorak kegirangan saat dia berhasil mengalahkan kakaknya. Ibu dan ayah ikut tertawa, menikmati momen kebersamaan yang hangat ini. Setelah beberapa putaran, ibu berdiri dan menuju dapur.
"Aku akan menyiapkan makan malam," katanya. Ghazali berteriak kegirangan. "Aku mau ayam goreng!"
"Sabar, ya," kata ibu sambil tertawa. "Ibu akan buatkan yang enak untuk kalian."
Waktu berlalu cepat. Malam mulai datang, dan hujan di luar semakin deras. Setelah makan malam, keluarga itu berkumpul di ruang tamu, menonton film komedi di televisi. Tawa mereka memenuhi ruangan, seakan melawan suara gemuruh hujan di luar.
Namun, di tengah-tengah tawa dan kebahagiaan itu, tiba-tiba ponsel ayah berbunyi. Dia merogoh sakunya dan melihat layar. Wajahnya langsung berubah tegang. "Oh, tidak," gumamnya.
Ibu menatapnya dengan bingung. "Ada apa?" tanyanya, mencoba mencari jawaban di wajah suaminya yang tiba-tiba serius.
"Aku lupa," kata ayah, menepuk dahinya. "Kita diundang ke acara penting malam ini. Aku lupa memberitahumu sejak tadi siang. Baru ingat sekarang."
Ibu mengerutkan kening, jelas terlihat tidak senang. "Bagaimana kamu bisa lupa? Sekarang sudah larut dan cuaca buruk. Kenapa tidak bilang dari tadi?"
Ayah hanya bisa menghela napas, merasa bersalah. "Maaf, benar-benar terlupakan. Aku pikir kita masih punya waktu. Tapi mereka baru saja mengirim pesan pengingat."
Ibu terlihat bingung dan sedikit marah, namun dia mengerti pentingnya acara tersebut. "Baiklah, kita harus bersiap sekarang."
Mereka berdiri dan mulai bersiap-siap dengan cepat. Ibu dengan cekatan menyiapkan mantel dan payung, sementara ayah dengan tergesa-gesa mencari kunci mobil. Di ruang tamu, Farhan dan adik-adiknya mendengar percakapan itu dan merasa bingung.
"Ada apa, Bu?" tanya Farhan.
"Kami harus pergi ke acara penting," jawab ibu sambil berusaha tetap tenang. "Kalian tetap di rumah, ya. Farhan, jaga adik-adikmu."
Ghazali yang masih lemah mencoba berdiri. "Aku bisa ikut," katanya dengan suara lemah. "Aku sudah merasa lebih baik."
"Tidak, Ghazali," kata ibu sambil mendekat dan memeluknya. "Kamu masih perlu istirahat. Tetap di rumah bersama abang dan Hana."
Namun, Hana yang tidak ingin ditinggalkan mulai menangis. "Aku tidak mau kalian pergi!" serunya, memeluk kaki ibunya erat-erat.
"Sudahlah, Bu," kata Farhan, mencoba meredakan situasi. "Kami akan baik-baik saja di rumah."
Ibu memandang Farhan dengan ragu, sementara ayah yang sudah siap berdiri di depan pintu, tampak gelisah. "Cepat, kita sudah terlambat," desaknya.
Akhirnya, ibu setuju untuk meninggalkan anak-anak di rumah. "Kita akan kembali secepatnya," katanya sambil mencium kepala Hana yang masih terisak. "Kamu juga jaga adik-adikmu, ya, Abang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tersesat di Antara Reruntuhan
Short Story**"Tersesat di Antara Reruntuhan"** Dalam dunia yang penuh dengan keindahan dan kebahagiaan, tiga saudara-Farhan, Ghazali, dan Hana-menikmati kehidupan yang penuh warna bersama keluarga mereka yang penyayang. Namun, hidup mereka berubah drastis ket...