Pagi masih begitu awal, bahkan sebelum ayam berkokok, kesibukan di rumah Farhan sudah terdengar. Ibu sudah terjaga, bergerak lincah di dapur menyiapkan bekal untuk anak-anaknya. Suara sendok dan wajan beradu pelan, menambah suasana pagi yang hangat dan penuh semangat. Aroma masakan mulai memenuhi udara, membangkitkan selera meski matahari belum sepenuhnya terbit.
Farhan, seperti biasanya, sudah bangun tak lama setelah ibunya. Ia duduk di meja dapur, memperhatikan ibunya yang sibuk memotong sayur dan menata bekal di kotak makan. Sesekali, Farhan membantu mengisi botol minum atau menata barang-barang yang perlu dibawa ke sekolah.
“Abang, sudah selesai pelajaranmu semalam?” tanya ibu sambil membalik telur dadar di penggorengan.
Farhan mengangguk. "Sudah, Bu. Tadi malam sudah aku ulang lagi semua materi untuk ujian nanti."
Ibu tersenyum bangga. "Bagus, Abang. Semoga ujiannya lancar ya."
Sementara itu, di kamar lain, suasana jauh berbeda. Ghazali masih terlelap, tenggelam dalam selimut tebalnya. Meskipun suara riuh dari dapur terdengar jelas, ia tetap tak bergeming. Baru setelah ibu selesai menyiapkan sarapan pagi, Ghazali akhirnya terbangun.
“Ghazali, cepat mandi!” seru ibu dari dapur sambil menyiapkan roti bakar di atas piring.
Dengan mata yang masih berat, Ghazali bangkit dari tempat tidurnya, menyeret langkah menuju kamar mandi. Seperti biasa, ia membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk bersiap. Setelah mandi, ia terlihat sedikit lebih segar, meskipun wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kantuk.
Sekolah Farhan dan Ghazali memang satu kompleks, namun mereka menempati gedung yang berbeda. Farhan yang sudah berada di tingkat SMA belajar di gedung yang lebih besar dan terpisah dari gedung SMP, tempat Ghazali belajar. Meski begitu, keberadaan mereka di satu kompleks sekolah memudahkan mereka untuk berangkat dan pulang bersama setiap hari.
“Abang, sudah siap?” tanya Ghazali sambil menyelesaikan sarapannya dengan tergesa-gesa.
Farhan mengangguk sambil mengambil tasnya. “Ayo, kita berangkat. Jangan sampai telat lagi ya, Ghazali.”
Mereka berdua berjalan bersama menyusuri jalan yang sudah mereka hafal. Perjalanan di pagi itu ditemani oleh suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi yang segar. Ghazali, yang selalu penuh energi di pagi hari, sesekali mempercepat langkahnya, melompati retakan di trotoar atau menendang-nendang kerikil yang ia temui.
Setibanya di sekolah, mereka harus berpisah di gerbang utama. Gedung SMP dan SMA memang terpisah cukup jauh, meski masih dalam satu kompleks.
"Abang, aku duluan ya!" seru Ghazali sambil melambai dan berlari kecil menuju gedung SMP.
Farhan tersenyum dan melambaikan tangan. "Jangan lari-lari, nanti jatuh!"
Ia kemudian melanjutkan langkahnya menuju gedung SMA, bersiap untuk menghadapi pelajaran dan ujiannya hari itu. Meski mereka berada di gedung yang berbeda, mengetahui bahwa Ghazali ada di dekatnya selalu memberikan perasaan nyaman bagi Farhan.
Hari baru dimulai dengan penuh harapan dan semangat, seolah tidak ada yang dapat mengganggu kedamaian rutinitas ini.
---
Pagi itu, perjalanan mereka ke sekolah terasa lebih ceria dari biasanya. Saat Farhan dan Ghazali berjalan bersama menuju sekolah, mereka bertemu dengan dua teman mereka di persimpangan jalan. Nisa dan Fania, sahabat yang sudah akrab dengan kedua saudara itu, menyapa mereka dengan senyum lebar.
"Selamat pagi, Farhan, Ghazali!" sapa Nisa ceria. Ia satu kelas dengan Ghazali, sementara Fania adalah teman sekelas Farhan.
"Selamat pagi," jawab Farhan dan Ghazali hampir bersamaan. Mereka terus berjalan beriringan, membentuk kelompok kecil yang ramai dengan obrolan pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tersesat di Antara Reruntuhan
Short Story**"Tersesat di Antara Reruntuhan"** Dalam dunia yang penuh dengan keindahan dan kebahagiaan, tiga saudara-Farhan, Ghazali, dan Hana-menikmati kehidupan yang penuh warna bersama keluarga mereka yang penyayang. Namun, hidup mereka berubah drastis ket...