17. JEJAK DARAH

19 3 0
                                    

Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!

Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!

Mereka berhasil melarikan diri dari lorong penuh kengerian, namun bayangan kematian terus membayangi setiap langkah Alya, Maya, dan Dika. Napas mereka tersengal, tubuh gemetar, tetapi mereka tahu tidak bisa berhenti. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kehancuran.

Lorong yang mereka lewati kini terasa lebih dingin dan lembap. Dinding-dinding beton di sekitar mereka tampak retak, seolah fasilitas ini sudah lama ditinggalkan. Suara gemerisik samar terdengar, membuat ketegangan semakin mencekam. Jejak darah yang tak beraturan membentang di sepanjang lantai, menuntun mereka ke arah yang tak mereka ketahui.

"Kita harus mencari jalan keluar... sebelum semuanya terlalu terlambat," bisik Dika, matanya waspada mengawasi setiap sudut lorong yang mereka lewati.

Alya mengangguk, tapi pikirannya kalut. Di dalam hatinya, ada perasaan bahwa ancaman yang mereka hadapi lebih besar dari sekadar makhluk-makhluk aneh yang mengejar mereka. Sesuatu di tempat ini terasa... salah, seperti ada kekuatan yang mengendalikan semua kejadian mengerikan ini.

Tiba-tiba Maya, yang berjalan di depan, berhenti dengan mata terbelalak. "Lihat ini..."

Di hadapan mereka, sebuah pintu baja besar berdiri kokoh, dengan jejak tangan berdarah yang tercetak di permukaannya. Pintu itu sedikit terbuka, dan dari celahnya, terdengar suara bising, seperti mesin yang terus bekerja.

"Apakah itu jalan keluar?" tanya Maya, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan.

"Kita harus periksa," kata Alya dengan tegas, meskipun jantungnya berdebar kencang. Ada sesuatu yang mengerikan di balik pintu itu, tetapi mereka tak punya pilihan lain.

Mereka mendekati pintu dengan hati-hati. Saat Dika mendorongnya perlahan, derit logam yang menakutkan bergema di lorong yang sunyi. Ketika pintu itu terbuka sepenuhnya, mereka melihat sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan.

Ruangan di balik pintu itu dipenuhi oleh deretan tangki kaca besar, masing-masing berisi tubuh manusia yang tersuspensi di dalam cairan berwarna hijau. Beberapa tubuh terlihat seperti manusia biasa, tetapi yang lainnya... berubah. Mereka memiliki ciri-ciri fisik yang tak wajar—tulang yang menonjol keluar dari kulit, otot yang terdistorsi, dan mata yang kosong.

"Ini... ini mereka. Eksperimen yang gagal," bisik Maya, suaranya penuh ketakutan.

Alya melangkah lebih dekat ke salah satu tangki, mencoba memahami apa yang terjadi di sini. Di bagian atas setiap tangki, terdapat label yang menunjukkan kode eksperimen. Namun, ada satu tangki yang menarik perhatiannya lebih dari yang lain. Tangki itu tampak lebih besar dan lebih kompleks, dengan lapisan logam yang melindungi isinya.

"Ini pasti eksperimen utama mereka," gumam Alya. Dia membaca label di tangki itu: E-17: Prototipe.

Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari lorong belakang mereka. Langkah kaki yang berat dan brutal, seperti seseorang yang mengejar dengan penuh amarah.

"Kita harus pergi sekarang!" seru Dika, wajahnya tegang.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara pintu di belakang mereka tertutup dengan keras. Mereka berbalik dengan cepat dan melihat sosok besar berdiri di ambang pintu. Makhluk itu lebih besar dan lebih menakutkan dari yang mereka lihat sebelumnya. Kulitnya penuh dengan luka terbuka, dan matanya merah menyala penuh kebencian.

"Dia... dia datang," bisik Maya, mundur dengan langkah gemetar.

Makhluk itu mendekat, langkahnya berat namun pasti. Suara napasnya terdengar seperti raungan yang tertahan, dan setiap langkahnya membuat lantai bergetar.

"Tidak ada jalan keluar," kata Alya dengan suara hampir putus asa, menyadari bahwa mereka terperangkap.

Namun, saat makhluk itu mendekat ke tengah ruangan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tangki E-17 mulai mengeluarkan suara mendesis, dan tiba-tiba pecah dengan ledakan kecil. Cairan hijau menyembur ke mana-mana, dan dari dalam tangki, sebuah sosok bergerak perlahan. Sosok itu jauh lebih menyeramkan dan mematikan daripada makhluk yang mendekat.

Alya hanya bisa terdiam, terpaku di tempatnya. Sosok di dalam tangki itu tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang salah—terlalu salah. Kulitnya tampak seperti besi yang berkarat, dan tubuhnya dibalut otot yang tampak dibuat dari logam. Mata hitam pekatnya berkilauan dalam kegelapan.

"E-17..." gumam Dika.

Sosok itu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, dan sebelum makhluk yang mengejar mereka bisa bereaksi, E-17 menghantamnya dengan kekuatan yang mematikan. Dentuman keras terdengar saat makhluk itu terhempas ke dinding, tubuhnya hancur lebur seketika. E-17 mengeluarkan suara raungan rendah yang membuat mereka bergidik ketakutan.

"Kita harus pergi!" Alya menarik Maya dan Dika, berlari ke arah pintu lain yang berada di sudut ruangan.

Namun, saat mereka berlari, E-17 menoleh ke arah mereka. Matanya menatap Alya dengan intensitas yang menakutkan, seolah mengenali dirinya. Seolah ada hubungan yang tak terucapkan di antara mereka.

Alya merasakan hawa dingin merayap di punggungnya, namun dia tidak berhenti berlari. Dia tahu bahwa mereka harus keluar dari tempat ini secepat mungkin, atau mereka akan menjadi mangsa berikutnya dari eksperimen yang salah.

Dengan cepat, mereka membuka pintu dan melarikan diri dari ruangan itu, meninggalkan E-17 yang masih berdiri di tengah ruangan, menatap ke arah mereka dengan tatapan dingin dan penuh teka-teki.

Ketika pintu tertutup di belakang mereka, napas mereka terasa lebih berat, dan kegelapan di lorong yang baru ini terasa lebih pekat. Namun, mereka tahu bahwa bahaya belum berakhir. Sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih mematikan masih mengintai di setiap sudut.

Dan Alya merasakan bahwa sosok E-17 itu... entah bagaimana... mengincar dirinya.

"Ini belum berakhir," gumamnya, saat mereka terus berlari menembus lorong kegelapan yang tak berujung.


To Be Continued...

THE SILENT PLAGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang