4. New Moon: What's Broken Cannot be Undone

327 41 20
                                    

Tidak pernah ada kehangatan yang menyelimuti keluarga Adrian, setidaknya begitu yang selalu ia pikirkan. Rutinitas bersama keluarga bukanlah sesuatu yang dinantikan setiap akhir pekan, ia bahkan membencinya–berharap bumi tiba-tiba hancur saat waktu bertemu keluarga, atau lebih tepatnya bertemu dengan ayahnya semakin dekat.

"Apa saya perlu menunggu, Pak?" Adam bertanya seraya melirik cemas. "Saya tidak masalah jika harus menunggu sampai selesai."

"Tidak perlu, Dam. Kamu bisa pulang."

"Pak Adrian..."

Adrian menggeleng, memutus kesempatan Adam untuk bersuara lagi.

"Kalau butuh, pasti kamu akan saya telepon kembali. Sekarang pulang sebelum saya membuat kamu tidak bisa pulang semalaman."

Adrian kemudian meninggalkan mobil, melangkah masuk menuju bangunan yang menyerupai mimpi buruknya selama bertahun-tahun. Pria itu melonggarkan dasi, memberikan ruang yang lebih untuk bernapas.

Kedatangan Adrian seperti biasa selalu disambung dengan hangat oleh Franda. Ibunya memeluk Adrian sesaat sebelum akhirnya menarik tangan sang putra untuk ke meja makan.

"Mami buat rawon hari ini. Kamu senang, kan, sayang?"

Adrian merangkul bahu sang ibu, lalu mengangguk meski tidak terlalu antusias.

Ketika sudah sampai, sosok Ervano Kalingga duduk dengan tenang di tengah. Kadang Adrian berpikir, memang jelas bahwa Ervano adalah putra dari seorang Dianne Kalingga. Aura haus kekuasaan, dan kesombongan selalu menguar dari diri mereka.

Ervano mengangkat dagu tinggi, menunggu agar Adrian yang terlebih dahulu menyapa namun harapan arapan tersebut kandas, sebab Adrian langsung duduk di samping Franda tanpa sedikitpun melirik lagi ke arah ayahnya.

"Lihat anak kamu," Ervano berkata seraya melirik Franda tajam. "Tidak tahu sopan santun sama sekali. Kamu selalu lalai mendidik Ian." kemudian Ervano berdecak, menampakkan ketidakpuasannya secara terang-terangan.

"Mami sudah mendidik saya dengan baik, tetapi anda..." Adrian menjeda, tersenyum miring saat melihat Ervano yang bungkam karena menunggu. "Anda tidak punya andil sama sekali."

"Adrian kamu ini!"

Sebelum adu mulut tersebut bisa menjadi lebih panjang, Franda mencubit lengan putranya–memberi peringatan tanpa suara melalui pandangan mata hingga sang anak pada akhirnya menurut.

"Sudah, Yan. Kamu, tuh, sekali-sekali berdamai lah dengan Papamu."

Meski diperingati begitu, Adrian tidak menanggapi sebab ia tidak mau mengucapkan kata-kata yang jelas adalah sebuah kebohongan belaka. He hates his father, and that fact will never change. Tidak sekarang, ataupun nanti.

Mengetahui bahwa Adrian dan Ervano tidak ada kesempatan untuk bercengkrama dengan baik, Franda pun tidak begitu berusaha untuk membuat suasana mencair. Wanita itu memilih membantu mengambil lauk pauk untuk anak satu-satunya yang jarang sekali pulang itu.

Adrian lebih banyak diam, sesekali menanggapi jika Franda bertanya tentang kesibukannya. Ia berpikir dengan mengabaikan sosok Ervano maka acara keluarga ini bisa segera selesai, lalu ia bisa segera meninggalkan tempat terkutuk ini.

"Kalau mendengar rutinitas yang kamu jalankan, Papa pikir kamu menghasilkan keuntungan yang begitu besar sampai nggak mau meninggalkan pekerjaan," Ervano berkomentar di sela-sela pembicaraan Franda dan Adrian. "Tetapi report yang papa dengar pertumbuhan revenue Kalingga Palace di semester pertama ini minusnya 40%. Sangat tidak sebanding dengan waktu yang kamu luangkan. Apa jangan-jangan kamu tidak benar menghandle bisnismu itu? Kalau misal–"

Memeluk RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang