Prologue

4 0 0
                                    

Untuk siapapun yang sedang berusaha menerima, yang sedang mencoba mencintai diri sendiri, serta sedang memaknai arti dibalik layar usang ini, selamat, kamu, menemukan-ku.

— Cantika Nusia Meera —

***

Kala itu, langit sedang malu-malunya mengubah warna Cantik dari merah muda keunguan menjadi biru laut kehitaman. Senja maksudnya.

Entah bagaimana seorang gadis yang tengah menikmati suasana indah itu mendapatkan ide untuk menulis sedikit kata yang terdengar geli namun sejuk, tentu menurutnya.

Mungkin terbawa suasana, suasana yang tenang, namun ramai didalam sana. Danau Merta yang memantulkan sinar matahari remang-remang sore itu menjadi kombinasi sempurna untuk ide baru yang muncul di imajinasi seorang Cantika Nusia Meera. Gadis berusia pertengahan 18 yang tentunya sedang mencari jati diri, pun ditengah-tengah pasang surutnya kisah ini.

Jari lentiknya masih setia menari-nari diatas papan ketik, dirasa sudah cukup mengerjakan tugas perkuliahan yang masih menggunung ini, telunjuk itu beralih ke laman tulis pribadinya. Melanjutkan cerita yang sempat ia tunda. Raganya memang diam, tapi pikirannya tentu kemana-mana.

Ceritanya cukup sederhana, hanya tentang seseorang yang tengah menikmati masa sendirinya dengan hal-hal menyenangkan tanpa mencampuri yang namanya masa lalu. Namun entah mengapa terasa rumit. Mungkin poin terakhir adalah alasannya.

Cantika tidak mau mengabadikan sesuatu yang pahit, padahal ia pun cukup sadar bahwa setiap dunia dan isinya selalu berdampingan.

Layaknya sore menjelang malam ini, ibarat ia hanya ingin menikmati momen senja nya saja tanpa mau bertemu dengan malam. Banyak nyamuk sih, katanya. Terkekeh sendiri dalam hati, mengekspresikannya dengan senyum kecil. Tidak habis pikir dengan pikirannya sendiri.

Sembari menggeleng, Cantika beranjak bangun dari gelap yang mulai menyambut. Rumput hijau yang didudukinya kini sudah ia pijak, berubah warna sedikit pekat karena hilangnya sinar mentari.

Setelah mengemasi laptop dan buku catatan kecilnya, serta membuang cup pop ice taro dengan topping choco crunh yang sudah tandas, ia pun melangkah kecil-kecil menjauh dari danau Merta. Danau yang belum lama ini sudah ia klaim sebagai teman penenang yang baik. Mudahnya karena begitu dekat dengan rumah, cukup berjalan kaki lima belas menit saja. Pemandangannya memang biasa, hanya beberapa kursi taman beserta lampu penerang mini dan pohon rindang, tapi cukup membawa kesan nyaman untuknya.

Di sela-sela langkah sembari menyambut angin sepoi dengan senyuman, Cantika menyempatkan diri berhenti sejenak. Memejamkan matanya, masih memeluk laptop yang ia namai lappie itu tentunya. Anak rambut dari poni yang kini terbelah itu sibuk menggelitik kecil kening Cantika. Mungkin jika dilihat orang, ia bakal dikira perempuan gila. Yah, lagu dong ya? Hahaha.

Kembali membuka matanya, ternyata memang benar dilihat orang, tapi ia tidak peduli sih. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, sedikit panik dan keheranan Cantika tetap melanjutkan jalannya. Ia sadar betul tidak memiliki penyakit yang berhubungan dengan dada yang bisa tiba-tiba sesak, tapi mengapa begitu ya? 

Tidak terlalu ambil pusing, Cantika buru-buru melanjutkan langkahnya, kali ini sedikit berlari kecil sembari menaikkan tudung hodie miliknya. Rintik hujan mulai turun.

Sedangkan ia tidak tahu, kejadian sepersekian detik tadi sebenarnya adalah sebuah pertanda. Permulaan untuk akhir. Serta akhir untuk sebuah kata sederhana, selamanya. 

***

Terimakasih sudah berkenan membaca sampai akhir.

Salam Sayang,
A.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hiraya ManawariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang