Embun

14 2 0
                                    

Drrtt Drrtt

Dering getaran dari ponsel bermotif beruang terus berbunyi, suara bising itu tak mengindahkan sang empunya yang masih terlelap nyaman di alam bawah sadarnya.

Satu teriakan, dua teriakan, tiga teriakan. Hening.

Seseorang membuka pintu itu kuat setelah membukanya dengan kunci dan segera berlari ke ruangan yang ia tuju.

Nafasnya bergemuruh panik, tetapi kembali tenang setelah melihat seseorang yang ia cari sedang tertidur lelap.

Memutar bola matanya malas, Radien mengambil nafas dalam sebelum kembali berucap. "Ck, dasar kebo. Gue telfonin puluhan kali nggak diangkat, semua lampu rumah nggak nyala. Gue kira lo kenapa-napa."

"BANGUN JANETTA!" Teriak Radien kencang memenuhi satu ruangan.

"BANGUNN!"

"BAANGUNN JANETTAA!"

"BAANGGUNNN!!!"

"JELEK BANGUNN!!!"

"Aduhh! Berisik banget sii!"

"Tapirr! lo ngapainn masuk ke kamar gue setann?!" Detik setelahnya, Janetta membulatkan matanya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

"KELUAR LOO!!" Teriaknya kuat. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

"Aman, lo pake baju itu." Janetta segera melihat tubuhnya. Benar, tubuhnya terbungkus rapih.

Matanya kembali menatap tajam laki-laki di depannya. "HEH! Ya terus kenapaa?! Sialan lo!! PERGII LO SETANN! PERGIII!!"

Radien lekas berlari keluar dari kamar setelah melihat gerakan Janetta yang mengambil gelas untuk dilemparkan kepadanya.

"SIAP-SIAP!! MAMA UDAH MASAK BANYAK, LO HARUS MAKAN DIRUMAH GUEE!!"

"NGGAK MAUU!!"

Radien kembali, menyembulkan kepalanya di balik pintu.
"Gak ada penolakan, lo nggak ikut makan. Gue sebarin rahasia lo-"

PRANGG!! suara pecahan gelas yang sangat indah. Gelas kaca itu berserakan di depan kamar gadis ini.

Radien menjatuhkan rahangnya, mengusap dadanya pelan. Beruntung tadi ia cepat menghindar, kalau tidak, mungkin kepalanya yang sudah pecah. Dengan besar hati Radien mengambil sapu serta serokan di pojok ruangan dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan itu.

Setelah drama panjang. Kini, keduanya sudah berkumpul bersama keluarga Radien. Walau tadi dengan sedikit paksaan terhadap Janetta, beruntung Radien berhasil mengajaknya. Jika tidak, mungkin gadis ini akan tetap tertidur hingga pagi menjelang. Beruntung rumah mereka berdekatan, hanya berjarak tiga rumah dari depan rumah Janetta.

Mata tajam itu terus mendelik, enggan menatap laki-laki remaja di depanya. Radien menghembuskan nafasnya pasrah, setelah ini ia harus membujuk sahabat kecilnya ini.

"Nah ayo semuanya makan. Jane, makan yang banyak ya sayang." Perempuan paruh baya itu tersenyum lembut, mengusap pelan kepala Janetta di sampingnya. Alya, ia adalah mamanya Radien.

"Iya Ma, MAA!" Pekik Janetta melihat ayam balado miliknya diambil oleh laki-laki tidak tahu diri di depannya.

Radien menyunggingkan senyumnya, meledek Janetta yang menukikkan alis kesal di depannya. "AKKHH! Maa sakitt!"

"Kamu nih kebiasaan Ren!" Ucap Perempuan paruh baya itu menarik daun telinga anaknya tinggi-tinggi.

"Ren, sudah lah.. kamu ini sudah besar, jangan bersikap kekanakan." Kali ini suara Papanya menginstrupsi. Pria tampan yang sangat cocok dengan kemeja putih di badannya walau umurnya sudah kepala tiga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GIRASOL [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang