Langkah gontai nan lelah ditemani sepi berbalut sunyi. Hidup seperti ini bukanlah yang ingin ia jalani, namun tak banyak pilihan untuk bertahan, selama bisa memberinya hidup yang pasti, semua akan dilakukan walau tidak dengan sepenuh hati.
Balutan jaket serta syal cukup memberi kehangatan. Besok adalah akhir pekan. Dua hari menjadi momen untuk memulihkan diri dari penatnya rutinitas yang selalu ia jalani setiap hari. Dalam dua hari libur itu, ia lebih suka untuk merebahkan diri demi memulai kembali aktivitas di senin pagi. Membosankan namun pergi di hari libur tak membuatnya lebih baik di keesokan hari.
Via menoleh, setelah merasa bahwa ia tak sendiri. Bukan sesuatu hal yang aneh jika ia berjalan dengan orang lain di malam hari karena ia bukan satu-satunya orang yang bekerja hingga larut, namun ia merasa bahwa seseorang sedang mengawasi.
Via berusaha membuang jauh pikiran buruk tentang orang yang sejak tadi memang mengikutinya. Pukul sepuluh malam memang belum terlalu sepi namun di sekitar tempatnya berjalan kaki tak ada satu orangpun yang ia kenali.
Tangannya mulai menggenggam erat tas kerja yang selalu ia bawa. Meski tak ingin menunjukkan serta selalu berusaha ia tahan, pada akhirnya rasa khawatir itu semakin menjadi.
Tepat beberapa langkah di depan, jalan gang mulai terlihat gelap. Sudut mata mulai melirik ke belakang, memastikan bahwa rasa khawatirnya tak beralasan. Via sedikit lega karena kini ia merasa sendiri. Orang yang ia rasa sedang mengikuti kini tak tampak lagi. Via membuang napas kasar. Ia melanjutkan langkah pada kegelapan dengan lega.
Bruk...
"Aduh.".
Via terjatuh, berteriak tertahan oleh bekapan seseorang dalam gelap. Via berontak namun tenaganya tak sebanding dengan orang yang saat ini membekapnya.
"Sebaiknya kau tak melawan, atau aku akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini."
Kalimat bernada ancaman cukup untuk membuatnya menghentikan perlawanannya yang tak seberapa.
Bruk.
Via mulai bisa bernapas lega namun matanya mengisyaratkan bahwa sesuatu yang ia tak mengerti telah terjadi.
Via berbalik, bermaksud untuk kemudian berlari. Ia merasa memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri.
"Siapa kau? Apa maumu?"
Via sedikit tertegun. Kini mereka bertiga dalam satu situasi dan kondisi.
Seorang laki-laki mengacungkan senjata. Dari kilaunya, senjata itu mampu untuk memberikan luka atau bahkan menghilangkan nyawa.
Sesosok hitam tinggi yang menjadi lawan dari pria bersenjata itu bergeming. Dalam gelap ia tampak begitu tenang, hingga seulas senyumnya tak terlihat oleh Via dan bahkan laki-laki yang mengacungkan senjata di depannya.
Tak...
Sosok hitam itu mulai melangkah maju. Laki-laki yang mengancamnya justru mundur seolah ancamannya hanya bulan belaka atau ia merasa bahwa yang akan dihadapinya adalah orang berbahaya.
Via menghentikan niatnya untuk pergi menyelamatkan diri. Ia tampaknya tertarik dengan situasi yang dilihatnya kini menguntungkan baginya. Ia merasa akan selamat dari kejahatan yang tadi hampir terjadi.
Sosok hitam itu kembali maju. Lawan mulai terintimidasi.
"Maju selangkah lagi akan kubunuh kau!" Ia mengancam sosok hitam didepannya dengan suara lantang namun tak sedikitpun menunjukkan keberanian, justru getaran dari suara menunjukkan bahwa mentalnya telah lebih dulu kalah.
Srat....
Satu sayatan menjadi pembuka pertarungan, namun sayangnya tak sedikitpun memberi dampak berarti. Sosok hitam itu menghindari serangan dengan mudah. Bahkan jika ia melihat senyum di wajah lawannya ia akan merasa diremehkan.
"Kurang ajar!"
Serangan kedua dilancarkan dengan pola serangan berbeda dari sebelumnya, berharap bisa memberi luka pada lawan yang ia hadapi. Serangan tersebut tepat mengenai lawannya namun ia tak senang dengan itu. Tangan yang dilengkapi sebilah pisau telah digenggam oleh sosok hitam yang menjadi lawannya saat ini.
Sesaat tubuhnya mulai terasa ringan sebelum akhirnya ia mengerang...
Erghhhh...
Ia menjerit tertahan. Satu bantingan membuat tubuhnya terasa remuk. Sosok hitam itu dengan sangat mudah membantingnya.
Ia berusaha bangkit. Sosok hitam itu seperti memberi sedikit waktu baginya untuk bangkit, entah itu sebagai tanda belas kasih atau justru penghinaan.
"Aku tak memiliki masalah denganmu, sebaiknya kau melepaskanku!"
Sosok hitam itu tetap diam. Itu berarti bahwa pertarungan akan tetap dilanjutkan. Sadar bahwa ucapannya tak memberi ancaman dan tak merubah situasi yang mungkin bisa menguntungkannya.
"Bang**t!"
Dengan tekad setengah nekad ia kembali menyerang. Tak sedikitpun memiliki rasa optimis untuk menang. Jangankan menang, bisa menyerang saja mungkin sudah suatu keberuntungan. Ia sadar bahwa lawannya memiliki kekuatan dari bantingan yang bisa ia rasakan.
Sreeeetttt...
Seperti yang sudah ia duga, sosok hitam itu dengan mudah menghindari serangannya. Tak cukup dengan satu serangan, ia sudah memang sudah berencana menyerangnya secara membabi buta. Ia berharap banyaknya serangan bisa memberi setidaknya sedikit luka.
Bruk...
Serangannya berhasil dan bisa memberinya rasa sakit baru di sekujur tubuh. Ia mengerang. Bantingan kali ini sepertinya lebih keras dari yang pertama.
"Aaarrrrgggghhh...."
Ia mengerang panjang, bersamaan dengan satu kaki yang kini tengah berdiri tepat di atas tangan yang sebelumnya menggenggam sebilah pisau. Rasa sakit di sekujur tubuh belum mereda sudah harus ditambah dengan luka baru dari tangan kanannya.
"Sudah berapa kali tangan ini kau gunakan tak dengan semestinya?"
Satu kalimat pertanyaan dilontarkan oleh sosok hitam itu. Ia melakukannya seraya tetap menaruh satu kaki di atas tangan kanan lawannya. Sadar bahwa lawannya tak memberi jawaban.
"Aaarrrgggghhhh..."
Suara jeritan kian bertambah kencang.
"Aku tidak tau."
Ia berusaha memberi jawaban demi melepas penderitaan. Ia berhasil. Rasa sakit di tangan kanannya sedikit mereda bahkan sosok hitam itu melepaskan kaki dari atas tangan kanannya untuk kemudian pergi. Ia lega karena penderitaannya telah berakhir.
"Aaarrrgggghhhhh..."
Sesaat kemudian justru jeritannya semakin melengking bersamaan dengan darah yang perlahan mulai mengucur membasahi aspal ditempatnya terkapar. Sebilah pisau berkilau tampak menembus punggung tangan hingga ke telapak tangan. Hari buruk telah tiba, entah karena sial atau karma dari perbuatan yang selama ini ia lakukan sebelumnya.
Via yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu tampak tak percaya. Matanya terbelalak bersamaan dengan tangan yang berusaha menutup mulutnya yang ternganga. Via mulai mundur untuk kemudian berlari menjauh dari tempat itu, tepat setelah matanya menatap mata dari sosok hitam yang mungkin telah menyelamatkannya dari tindak kejahatan.
Via tak peduli dengan luka di kakinya akibat mengenai kerikil saat ia berlari. Saat ini ia fokus pada tujuan menyelamatkan diri. Sejak melihat tatapan dari sosok hitam itu, ia merasa bahwa nyawanya masih berada dalam bahaya.
"Apa-apaan orang itu?"
Tanyanya pada diri sendiri. Berusaha mencari jawaban tanpa kepastian. Adegan kejam membuatnya tak yakin bahwa ia adalah sosok pahlawan seperti pada tokoh-tokoh cerita yang pernah ia baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga Temaram
HorrorWaktu berlalu. Jalan gelap mengembalikannya pada hidup yang keras. Iya terlanjur menikmati apa yang dijalani, hingga tanpa sadar memancing apa yang tak seharusnya kembali.