2. Babak baru

12 3 0
                                    

Beberapa waktu lalu.

Sirine bising membelah keheningan bersama cahaya merah dan biru menyala silih berganti. Sepinya jalan di tengah malam memberi kemudahan untuk segera mencapai tujuan. Hanya ada seorang di dalam mobil, sedang duduk dan konsentrasi di balik kemudi, sisanya terkapar di belakang di atas tandu. Sesekali sang supir menengok ke belakang. Ia memastikan bahwa orang yang ia bawa masih bisa diselamatkan. Dalam benak, sang supir dipenuhi banyak pertanyaan, siapa dan mengapa.

Ambulan terus melaju, melewati pepohonan di samping kiri kanan jalan, pulang dan kembali masih dengan penumpang walau dengan orang berbeda.

Enam jam perjalanan ketika berangkat dengan membawa jasad tanpa jiwa telah menguras tenaga.

"Entah mimpi apa saya semalam? Pergi membawa jasad dan kembali membawa...mayat."

Ada setengah keraguan ketika orang yang ia selamatkan di tepi hutan masih bisa diselamatkan. Tubuhnya penuh luka entah itu akibat serangan hewan buas atau pertarungan.

"Mas, tolong!"

Sang supir turun dari mobil untuk kemudian bergegas menuju perawat yang sedang bertugas. Perawat itu tak sedikitpun atau sempat untuk bicara. Ia segera bergegas mengikuti orang yang datang dengan ambulan kemudian meminta pertolongan.

"Kenapa ini?"

Barulah ia sempat bertanya ketika ia melihat kondisi orang yang baru saja dikeluarkan sang supir lewat pintu belakang ambulan.

"Saya tidak tau, Mas. Tapi kalau masih memungkin kita bawa dulu ke dalam untuk melakukan pertolongan."

Perawat itu mengangguk setelah ia memastikan bahwa orang yang baru saja diturunkan masih memiliki kemungkinan untuk diselamatkan.

"Nadinya lemah."

Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan telah siap. Perawat itu dengan sigap melakukan apa yang harus ia lakukan.

Sang supir menemani dengan khawatir. Puskesmas daerah cukup jauh dari kota tak begitu ramai dengan orang-orang yang menderita atau berjuang atas kehidupannya. Sangat berbeda dengan rumah sakit besar tempat di mana dia bekerja. Rumah sakit besar namun selalu penuh dengan orang-orang sakit, entah itu luar dan dalam atau juga fisik dan psikis.

"Pak, apa Bapak dari keluarga pasien?"

Sang supir menoleh setelah sempat merenung dengan apa yang sudah ia lakukan tadi.

"Bukan, Mas."

Sang perawat mulai menelisik, guna mencari informasi tentang pasien tersebut.

"Lalu..."

Belum sempat ia melengkapi kalimat tanyanya, Sang Supir memotongnya.

"Begini, Mas. Saya tidak tau dia siapa dan darimana, cuma tadi setelah saya dalam perjalan pulang setelah mengantarkan jenazah dari rumah sakit tempat saya bekerja, saya menemukannya di pinggir jalan di tengah hutan, setelah memastikan bahwa orang itu masih hidup, setidaknya menurut saya, jadi saya putuskan untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Setelah ini mungkin saya harus menghubungi pihak berwajib, karena saya tidak mau terlibat lebih jauh dari ini dan saya khawatir dengan latar belakang orang itu."

Perawat itu mengangguk. Cerita yang ia dengar sudah cukup jelas dan lengkap yang menghabiskan daftar pertanyaan dasar yang seharusnya ia tanyakan.

****

Tetesan darah mewarnai jalan kotor yang susah payah berusaha ia lewati. Ia hanya memiliki sisa tenaga untuk bertahan berjalan ke tempat yang mungkin akan memberikannya pertolongan.

Bruk...

Ia terhuyung. Kakinya tak sanggup menopangnya untuk tetap berdiri. Napas mulai memburu. Jalan gelap yang sebelumnya berhasil ia lewati kini justru menghampiri dengan pasti. Pandangan mata mulai kabur seiring tubuhnya yang mulai dingin dan mati rasa hingga akhirnya ia memejamkan mata.

Beberapa kali bantingan mematahkan tulang rusuk. Satu tusukan menembus dari telapak hingga ke punggung tangan sebelum tangan kanan itu diremukkan tanpa sedikitpun belas kasihan.

****

Beberapa carik kertas koran menutupi jasad terkapar di pinggir jalan. Ceceran darah menunjukkan dari mana ia berasal, namun polisi tak menemukan identitas dalam diri jasad tersebut.

"Apa dia korban pembunuhan?"

Entah ia bertanya pada siapa atau hanya sekedar bergumam saja. Brama mulai mencari dari hal yang paling dasar, yaitu menelusuri jejak darah yang tertinggal. Brama mengamati kemudian mulai berjalan perlahan. Jejak darah yang mulai mengering dan bahkan memudar hingga menghilang karena sesuatu cukup sulit untuk ia amati, hingga ia butuh konsentrasi lebih serta fokus dan juga teliti. Terkadang jejak itu terputus begitu jauh hingga Brama terpaksa harus mengandalkan insting serta pengalaman dalam menghadapi situasi saat ini. Dahinya mengerut, tatapannya mengerucut. Satu tempat ia curigai sebagai tempat terjadinya pembunuhan. Jalan diapit dua bangunan ia tuju. Matanya melirik ke kiri dan kanan serta atas bangunan-bangunan yang ia lewati. Ia berusaha mencari saksi bisu atau mata tanpa kepala yang mungkin bisa memberi petunjuk yang berguna.

"Aku sudah memeriksanya. Kondisinya sangat parah dan dia tewas kemungkinan karena kehabisan darah dan yang paling mengenaskan, tangannya remuk seperti memang sengaja dihancurkan, telapak tangan hingga ke punggung tangan terdapat lubang yang sepertinya oleh benda tajam, untuk bagian yang lainnya harus melewati pemeriksaan lebih lanjut."

Brama mendengarkan dengan seksama dan memahami apa yang baru saja dijelaskan Bani.

"Apa ada kemungkinan kalau ia korban dari perampokan?"

Tanya Brama, seraya tatapan matanya menerawang tentang beberapa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam kasus kali ini.

"Entahlah, tapi kurasa tidak. Dari penampilannya terasa kurang meyakinkan, jadi kemungkinannya begitu kecil. Walaupun identitas tidak ada tapi itu tak menjamin bahwa dia memang orang yang pantas untuk menjadi korban perampokan. Dari bekas luka yang lain itu di beberapa titik, kasus ini lebih mengarah pada perkelahian namun dengan motif yang belum bisa dijelaskan karena kurangnya bukti dan saksi.

Brama menunduk kemudian berjongkok di dekat sedikit genangan darah yang mulai mengering.

"Bani, beri tanda lokasi ini! Jangan biarkan orang lain merusak bukti yang ada di tempat ini! Perintahkan satu atau dua orang polisi untuk berjaga di area ini.

****

Kembali pada beberapa waktu yang lalu.

"Akan kita bawa kemana dia?"

Dua orang telah berjalan cukup lama dan jauh, menjauhi sebuah gedung yang pada saat ini tercium aroma pekat darah dari jasad-jasad pembantaian. Hutan ini cukup lebat namun kekuatan fisik mereka yang tangguh membuatnya terlihat mudah.

Bruk...

Dalam sekejap mereka menunduk serta meletakan Satya di atas tanah, guna menghindari sesuatu yang bisa saja memperumit keadaan.

Dari jauh, terlihat cahaya merah dan biru bergantian memberi tanda pada jalan gelap bahwa mereka akan lewat.

Dalam kegelapan, mereka saling menatap.

"Sebaiknya kita letakan dia di pinggir jalan?"

Ucap salah satu dari mereka.

"Apa maksudmu agar mobil itu menyelamatkannya?"

Tanya salah seorang dari mereka.

"Ya, ini akan lebih baik. Jika kita membawanya, bisa saja ia lebih dulu mati."

"Tapi..."

"Tenang, kita akan tetap mengawasi dari jarak aman dari pandangan."

Mereka meletakkan Satya di pinggir jalan di tepi hutan, agar bisa dengan cepat diselamatkan. Pertaruhan yang mereka lakukan sangat beresiko, terutama bagi keselamatan Satya namun mereka tak memiliki pilihan lain. Bahkan mereka hanya memiliki keyakinan bahwa mobil itu justru akan kembali.

Surga TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang