4. Amaranggana

12 4 3
                                    

"Apa di tempat ini memang selalu tenang?"

Nara menatap ke luar jendela tempatnya beberapa hari menghabiskan waktu untuk memulihkan diri. Luka di sekujur tubuh mulai membaik. Beberapa luka kecil bahkan telah mengering. Rasa sakit di beberapa bagian sudah mulai reda.

"Iya, Mas. Di sini memang sepi. Mereka yang datang tak pernah berkenan untuk menginap di sini walau dokter menyarankan. Jika memang harus rawat inap, mereka lebih memilih langsung ke rumah sakit besar yang ada di kota. Mereka yang kesini rata-rata hanya berobat jalan atau sekedar untuk mendapatkan pengobatan gratis, namun kita yang mengabdi di sini tetap bersyukur, karena itu berarti mereka peduli pada kesehatan mereka sendiri. "

Wanita itu selama beberapa waktu menemani Nara, menjelaskan sedikit situasi yang menjadi tempat tinggal sementaranya saat ini.

"Kira-kira, kapan aku bisa keluar dari sini? Aku ingin segera mencari orang yang membawaku kesini untuk sekedar mengucapkan terimakasih."

Amara tersenyum.

"Mungkin besok."

Tergurat keraguan di wajah Nara. Setelah semuanya berakhir, ia tak memiliki tujuan untuk pergi.

"Kenapa, Mas?"

Amara menyadari tanda tanya di wajah Nara.

Nara menggeleng, menoleh menatap Amara. Seulas senyum merekah pada wajah mereka berdua.

"Sebelum pergi, aku ingin mengucapkan terimakasih untuk semuanya, terimakasih karena telah merawatku."

Amara tersenyum.

"Itu sudah jadi kewajibanku."

Perjalanan panjang dimulai. Lembaran baru menjadi tujuan walau langkah pasti menapaki jalan tanpa arah kepastian. Amara melepas kepergiannya dengan rasa aneh, tak biasa baginya merasakan hal ini. Dari balik jendela kaca, langkah Nara mulai menjauh dan menghilang di balik gerbang.

Tak memiliki bekal apa-apa, hanya pakaian melekat yang itupun pemberian dari Amara. Nara mencari jalan sesuai petunjuk yang ia dapatkan dari Amara. Hal pertama yang ingin ia lakukan adalah berterimakasih. Tanpa uang dan harta benda, Nara berusaha mencari tumpangan untuk pergi ke kota.

Beberapa jam berlalu. Beberapa kali jempol tangan kanan Nara terangkat tinggi, namun beberapa mobil yang lewat seolah tak Sudi. Jangankan untuk berhenti, untuk sekedar menurunkan kecepatan pun sepertinya enggan dilakukan.

Matahari semakin meninggi, menandakan sudah setengah hari ia berada di jalanan. Peluh keringat tak terhitung hingga membasahi hampir semua bagian dari pakaian yang ia kenakan. Tubuhnya mulai merasakan lelah luar biasa. Ketangguhannya terkikis keadaan. Luka yang telah mengering mulai memberikan rasa nyeri.

Nara berhenti. Ia memilih tempat teduh di bawah pohon rindang di pinggir jalan untuk sekedar beristirahat memulihkan diri walau tak ada satupun sesuatu yang mungkin bisa membantu memulihkan tenaganya yang telah banyak terkuras.

Batang pohon menopangnya. Ia hampir saja terjerembab jika pohon itu tak berdiri di belakangnya. Nara memejamkan mata. Jiwa terasa lepas dari raga. Tubuh ringan bagai tak bermasa.

Kresek.

Bebannya telah kembali bersama kesadaran akan keadaan. Telinga menangkap sesuatu yang terjadi walau masih tanda tanya. Nara perlahan membuka mata. Dari jarak ia duduk di bawah rindangnya pohon saat ini, Nara menoleh ke kiri dan kanan, ia mencari sumber sesuatu yang saat ini ada di hadapannya.

Nara fokus pada sebuah plastik hitam di hadapannya. Dari posisinya, plastik itu seolah seperti sengaja ditaruh oleh seseorang di hadapannya. Beberapa orang terlihat berjalan dari pantauan mata, namun dari semua yang ia lihat, tak ada satu orang pun yang menunjukkan bahwa orang tersebut pelakunya. Dari bentuk yang tergambar di luar, Nara sedikit bisa menebak isi di dalamnya, walau tidak secara akurat. Keadaan plastik yang terikat menyembunyikan fakta kejujuran benda tersebut.

Sedikit ragu, Nara mulai mencoba untuk membuka untuk memastikan bahwa ia telah mendapat berkah, bukan musibah. Seulas senyum mulai merekah.

"Siapapun kamu, terimakasih."

Ucapnya dalam hati. Tak terpikir olehnya bahwa apa yang ia dapatkan sebuah kepastian berkah, padahal bisa saja itu hanya sebuah kemasan indah demi menyembunyikan kebusukan di dalamnya. Rasa lapar membuat Nara lupa insting bertahan hidup di dunia nyata.

****

Sepasang mata menatap tajam perbuatan kriminal dari para berandalan terhadap korbannya. Tangannya mengepal, menahan amarah yang mulai memuncak. Ia tak menyukai adegan dari mereka yang bersikap sok jagoan.

Ia mulai bergerak, namun sedetik kemudian terhenti dan memutuskan mengawasi keadaan yang terjadi. Amarahnya mereda saat datang tiga orang tampak membela orang tua yang berniat ia selamatkan. Bahkan tak butuh waktu lama kejadian itu bisa segera diselesaikan.

Usai kejadian, ia masih di tempat yang sama, tak beranjak mengamati sang pahlawan. Ia mengenalnya.

Ia mulai beranjak bersamaan dengan hilangnya orang tua yang ia rasa telah aman. Tanpa ia sadari, sang pahlawan menyadari keberadaannya, beruntung kegelapan memberinya rasa aman.

****

MISTERI HILANGNYA KELOMPOK ATAU GENGSTER

Brak...

Brama menggebrak meja. Rasa kesalnya sudah tak tertahan.

"Kenapa berita ini bisa muncul?"

Tanyanya yang entah pada siapa.

Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu. Brama mengira bahwa peristiwa pembantaian yang ia lihat sendiri bahkan nyaris menjadi salah satu korban tak akan tersebar ke media massa. Pada saat itu, tak ada satu awak media pun yang mengetahui atau melakukan peliputan namun dalam artikel berita yang tertulis menceritakan bahwa gengster yang dimaksud adalah mereka yang telah dibantai pada malam itu.

Brama berusaha menenangkan diri. Ia berusaha mengubah arah pikirannya pada kasus pembunuhan yang beberapa hari terjadi, namun niat itu justru membuatnya semakin gila.

Pembunuhan itu tampak terlihat kejam. Korban yang tak lain adalah penjahat dengan beberapa kasus kriminal tampak dibunuh dengan kejam. Salah satu tangan remuk beserta darah yang bercucuran hingga kehilangan nyawa menjadi bukti kekejamannya.

Luka fisik hampir pulih sepenuhnya, namun tidak mudah dengan jiwa. Brama baru sekali dan berharap kejadian itu untuk pertama dan terakhir yang ia lihat. Hal itu tak hanya dirasakan Brama. Bani dan Iqbal pun mengalaminya walau tak parah seperti Brama. Bani dan Iqbal tak banyak melihat kengeriannya. Sekelompok gengster dihabisi dengan mudah oleh sekelompok orang berpakaian layaknya tentara, hingga satu ruangan berada dalam kondisi layaknya tertimpa hujan darah.

Brama beranjak dari kursi duduknya yang empuk. Dengan tergesa, ia pergi menuju parkiran mobil di halaman depan kantor kecil tempat ia meniti karir.

Mobil mulai melaju, melewati gerbang kemudian menuju jalan besar. Untuk mengobati rasa gelisah dan penasaran, Brama bergerak mencari jawaban.

Brama sengaja pergi seorang diri karena hanya ia seorang yang mengetahui pelaku pembantaian malam itu. Dengan bertemu orang tersebut, Brama berharap bahwa ia bisa melupakan pembantaian tersebut setelah mengetahui alasan mengapa ia melakukan itu.

Pada malam itu, Brama tak berdaya sehingga ia tak bisa menghentikan kejadian yang ia rasa menjadi semakin gila setelah pasukan berseragam layaknya tentara tiba-tiba muncul dan melakukan pembantaian pada mereka.

"Mereka memang para kriminal namun mungkin akan lebih baik jika mereka bisa dibina agar tak dibinasakan."

"Tentara waktu itu bagaikan iblis yang menyiksa tanpa sedikitpun memiliki rasa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surga TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang