Gemuruh Riuh

244 90 18
                                    

'Ada sebuah tempat yang mereka sebut rumah tapi di dalamnya sangat tidak ramah. Jika orang lain pulang untuk tenang, maka ia ingin pergi agar tetap waras.'

*****

"Laits, kalau suatu hari nanti gue memutuskan untuk mengakhiri hidup, apakah Allah akan marah di pertemuan selanjutnya?" ketik Ji'en di layar ponselnya. 

Pesan itu melesat cepat, diarak angin malam sampai ke pintu kamar Laits, sahabatnya. Laits terbelalak kaget, Siomay Mang Ujang melonjat keluar dari mulutnya. Mendarat tepat di atas seprai kasur berwarna putih yang baru saja diganti. Tak hirau dengan noda siomay berserakan, Laits bergegas membalas pesan penuh ketidakwarasan Ji'en. Pikirannya sudah kacau duluan oleh kemungkinan-kemungkinan terburuk.

"Astaga Ji'en, lo ga lagi ngetik sambil ngiket tali ke leher kan?" balas Laits terburu-buru.

"Jawab gue dulu!"

"Bukan cuma marah, bahkan Allah pasti ga mau ketemu sama hamba sebandel lo!"

"Tapi bukannya Allah itu Maha Tahu kondisi gue saat ini?"

"Bukan hanya tahu, Allah jugalah yang membuat lo berada di situasi berat itu"

"Tapi kenapa?"

"Karena Allah yakin, hanya pundak seorang Jeehan Claimeera yang sanggup melalui ujian berat itu"

"Tapi gue ga sanggup Laits, ujian ini terlalu berat buat gue"

"Allah tau itu berat. Makanya Allah mengirimkan gue untuk jadi sahabat lo, biar lo ga sendirian"

"Gue kesana sekarang!" ketik Laits lagi, tanpa menunggu balasan Ji'en.

Begitulah kepedulian sahabat Ji'en itu. Bahkan noda siomay yang berserakan di sprei kasurnya tak lagi ia hiraukan. Laits sangat tahu betapa berantakan dan rapuhnya Ji'en. Ji'en sudah terduduk di kamarnya, di lantai samping ranjang tidur. Di tangan kanannya sudah ada sebuah pisau cutter dan pergelangan tangan kirinya sudah terukir beberapa irisan. Darahnya mengalir sampai ke lengan, sebagian juga menetes ke lantai. 

Ji'en menangis sejadi-jadinya, matanya sembab dan lembab. Balasan chat dari Laits menghentikan ide gilanya untuk mengakhiri hidup. Awalnya, ia ingin memutus paksa pembuluh darah arteri bagian kiri, agar seluruh tubuh kekurangan oksigen dan aliran darah berhenti, lalu mati secara memilukan. Entah dari mana ide itu bisa muncul di kepalanya, sampai berpikir bahwa mengakhiri hidup berarti mengakhiri segala penderitaan.

Tepat setahun lalu, Ji'en didiagnosa terkena penyakit gagal ginjal oleh dokter. Saking khawatirnya dengan kondisi itu, orang tua Ji'en sampai harus membawa anaknya check up ke luar negeri. Berharap diagnosa dokter dalam negeri keliru, dokter luar negeri pun tak ada bedanya. Ikut membenarkan diagnosa penyakit Ji'en dengan bukti hasil usg menggunakan teknologi medis modern. Bahkan para dokter mengatakan, kelangsungan hidup Ji'en tak akan bertahan lama seiring penyakitnya menggerogoti tubuh Ji'en, membuat kesehatannya semakin memburuk. 

Untuk mencegah dan -setidaknya dapat memberikan harapan hidup lebih panjang kepadanya-, Ji'en harus rutin cuci darah minimal 3 kali seminggu. Maka semenjak setahun terakhir ini, Ji'en menghabiskan hari-hari dengan mengkonsumsi obat-obatan, cuci darah, ditambah harus menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan kegiatan komunitas yang diikutinya .

Penyakit parah yang mengancam keberlangsungan hidupnya, tak lantas membuat Ji'en berpasrah diri dengan keadaan. Dia memutuskan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, mengambil jurusan paling fenomenal, kontroversial, dan membuatnya puyeng sendiri. Dari banyaknya pilihan jurusan kuliah, Ji'en menjatuhkan hati pada jurusan hukum. Dia tak tahu usianya akan sejauh mana dapat bertahan, tapi akhir-akhir ini Ji'en selalu meyakinkan diri: niat baik akan selalu sampai pada hasil terbaik. Sedari awal, niat Ji'en masuk kuliah dan mengambil ilmu hukum, tidak lain dan tidak bukan hanya mengisi kekosongan. Kekosongan dari hari-hari yang selalu berkutat pada cuci darah dan obat-obatan. Sembari menunggu kematian yang dulu pernah disinggungkan dokter kepadanya.

Seiman Tapi Tak SejalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang