Matahari pagi yang hangat mulai menyapu Batavia dengan cahayanya, menciptakan bayangan-bayangan panjang dari pepohonan kelapa yang berjajar di sepanjang jalan. Suara riuh pasar mulai terdengar di kejauhan, suara orang-orang bernegosiasi dan tertawa bersahutan dengan deru langkah kuda serta roda pedati yang berderak di jalan-jalan berbatu. Udara pagi masih segar, meski selalu ada aroma asin dari laut yang tak jauh dari kota.
Batavia, pusat dari segala aktivitas di Hindia Belanda, adalah kota yang selalu sibuk. Rumah-rumah megah milik pejabat tinggi dan pedagang VOC berdiri kokoh di sisi jalan, dengan taman-taman terawat rapi dan pagar tinggi yang menjaga privasi. Di sisi lain, ada perkampungan pribumi yang lebih sederhana, namun penuh kehidupan. Di sinilah para warga lokal menjajakan hasil bumi, menjahit pakaian, dan menjalani keseharian mereka, hidup berdampingan dengan bayang-bayang kekuasaan kolonial yang terus mengintai.
Di tengah hiruk-pikuk kota, berdiri sebuah rumah besar yang elegan namun tidak terlalu mencolok. Di sana tinggal Raden Ayu Triyani, putri dari Raden Sukatma, seorang pejabat tinggi yang dihormati. Triyani adalah lambang dari kecantikan dan kecerdasan, dengan kulit sawo matang yang bercahaya dan rambut hitam panjang yang selalu disanggul rapi. Pagi itu, ia duduk di beranda rumahnya, memandang ke arah kebun belakang yang dipenuhi bunga melati dan kenanga, sembari merasakan hembusan angin lembut yang membawa aroma segar tanah setelah hujan semalam.
Triyani menikmati momen tenang ini, sebelum rutinitas harian dimulai. Pikirannya berlarian pada banyak hal-proyek-proyek yang sedang ia kerjakan, pertemuan-pertemuan dengan para wanita terpandang di Batavia, serta tanggung jawabnya sebagai putri pejabat. Sejak kecil, ia dididik dengan ketat, bukan hanya dalam hal pendidikan, tetapi juga etika dan seni memimpin. Ayahnya selalu berkata bahwa ia harus menjadi contoh yang sempurna bagi para wanita pribumi, terutama dalam menghadapi tantangan yang datang dari pemerintahan kolonial Belanda.
Pintu berderit lembut saat seorang pelayan mendekat, membawa nampan dengan secangkir teh hangat. "Nona, teh Anda sudah siap," katanya dengan lembut, menundukkan kepala.
Triyani tersenyum tipis, menerima cangkir teh tersebut. "Terima kasih," jawabnya sambil menyeruput teh yang wangi. Pagi ini terasa damai, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya resah, seolah ada bayang-bayang yang mengintai dari balik kejauhan.
Di balik pagar rumah, beberapa pria Belanda dengan seragam VOC lewat di jalan, membicarakan hal-hal yang tak dapat dimengerti oleh Triyani. Namun, satu sosok menarik perhatiannya. Seorang pria tinggi dengan rambut pirang yang rapi, wajahnya serius dan matanya tajam, menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun menyadari pandangan Triyani yang sejenak tertuju padanya. Meski ia hanya melihatnya sekilas, ada sesuatu tentang pria itu yang memunculkan rasa tidak nyaman di dalam dirinya.
"Kehidupan di Batavia tidak pernah sesederhana ini," pikir Triyani. Di tengah kedamaian pagi, selalu ada kekuatan besar yang bergerak di bawah permukaan, menarik semua orang dalam permainannya yang berbahaya.
Batavia mungkin terlihat indah dan damai di permukaan, namun di balik tembok-tembok megah dan jalan-jalan berbatu, ada konspirasi, ketidakadilan, dan kekuasaan yang selalu mengintai. Triyani, meskipun dihormati dan dipandang sebagai simbol kesempurnaan, tahu bahwa ia juga harus selalu waspada-terutama ketika bayang-bayang VOC semakin mendekat pada kehidupannya.
***
Triyani memutar cangkir di tangannya perlahan, memandangi taman yang luas di belakang rumahnya. Pagi yang cerah seperti ini biasanya ia habiskan untuk menulis atau membaca di ruang belajarnya, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Perasaannya terusik oleh sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Namun, sebagaimana kebiasaannya, ia menyembunyikan kegelisahan di balik wajah tenang dan anggun.
Kesehariannya sebagai seorang Raden Ayu tidak pernah benar-benar santai. Sebagai putri dari pejabat tinggi, ia memiliki berbagai tanggung jawab yang harus dipenuhi. Setiap hari ada tamu-tamu penting yang datang ke rumah, baik dari kalangan pribumi maupun pejabat Belanda, membicarakan hal-hal politik dan sosial yang berkaitan dengan Batavia. Meski ia tidak terlibat langsung dalam urusan pemerintahan, Triyani sering diajak dalam diskusi oleh ayahnya, mendengarkan dan belajar.
Namun, bukan hanya diskusi politik yang menyibukkan hidupnya. Triyani juga dikenal sebagai pelindung kaum perempuan pribumi. Ia secara aktif mendukung dan membimbing para wanita muda agar bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik, meskipun peluang bagi perempuan sangat terbatas di masa itu. Sebuah cita-cita yang sering kali dianggap terlalu ambisius, terutama oleh pejabat-pejabat Belanda yang percaya bahwa tempat wanita pribumi hanyalah di rumah.
Setiap siang, Triyani biasanya pergi mengunjungi sekolah kecil yang ia dirikan bersama beberapa rekan sesama wanita terpandang. Sekolah itu diperuntukkan bagi anak-anak pribumi yang tidak bisa bersekolah di tempat yang disediakan VOC. Ia berusaha mendidik mereka dalam membaca, menulis, dan sedikit ilmu dasar. Di mata Triyani, pendidikan adalah kunci bagi kemerdekaan, meski kemerdekaan yang ia impikan masih tampak sangat jauh dari kenyataan.
Siang itu, setelah menyelesaikan sarapan ringan, Triyani bersiap untuk mengunjungi sekolahnya. Ia mengenakan kebaya putih bersulam emas yang sederhana namun elegan, dengan kain batik halus membalut tubuhnya. Rambutnya disanggul rapi, sesuai dengan tata cara wanita terhormat. Di luar rumah, kereta kuda sudah menunggu, siap mengantarnya.
Saat menaiki kereta, Triyani sempat teringat sosok pria Belanda yang tadi pagi dilihatnya di jalan. Bastiaan van der Meer, putra dari seorang pejabat tinggi VOC juga merupakan seorang perwira yang baru saja ditempatkan di Batavia. Meski mereka belum pernah berbicara, nama Bastiaan sudah sering disebut-sebut dalam lingkaran keluarganya. Banyak yang mengatakan bahwa ia adalah pria yang dingin dan penuh perhitungan, namun dengan ambisi yang besar. Triyani tak terlalu peduli pada rumor semacam itu-bagi dia, para pejabat VOC semua sama saja, hanya memikirkan kekuasaan dan harta.
Kereta bergerak pelan menyusuri jalanan Batavia yang penuh sesak. Sepanjang jalan, Triyani melihat kehidupan rakyat kecil yang sibuk bekerja, dari pedagang yang menjajakan dagangannya hingga anak-anak yang berlarian di pinggir jalan. Kehidupan rakyat jelata selalu membuatnya merenung-betapa besar perbedaan antara dirinya yang hidup dalam kenyamanan dan mereka yang bergelut dengan kerasnya hidup setiap hari.
Saat tiba di sekolah, Triyani disambut dengan tawa riang anak-anak yang berlarian keluar menyambutnya. Di tempat inilah Triyani merasa paling bahagia. Di antara dinding-dinding kayu sederhana, ia bisa melupakan sejenak segala tekanan yang datang dari tanggung jawabnya sebagai putri seorang pejabat. Di sini, ia hanya seorang guru, mendidik anak-anak tentang masa depan yang mungkin akan lebih baik, meskipun realitas saat ini terasa suram.
"Selamat pagi, Raden Ayu!" seru salah satu muridnya, seorang gadis kecil bernama Sari, sambil berlari mendekat dengan senyum lebar di wajahnya.
"Selamat pagi, Sari," jawab Triyani dengan lembut, sambil mengusap kepala anak itu. "Apakah kamu sudah siap belajar hari ini?"
Sari mengangguk dengan semangat, "Iya, Nona! Aku sudah selesai mengerjakan tugas menulisku."
Triyani tersenyum. Baginya, melihat semangat anak-anak ini adalah salah satu kebahagiaan tersendiri. Setiap kali ia berada di sini, ia merasa bahwa meskipun kecil, ada perubahan yang bisa ia bawa bagi generasi mendatang. Namun, di balik semua senyuman itu, ia sadar bahwa pengaruh kekuasaan kolonial VOC semakin lama semakin menekan.
Setiap hari terasa seperti permainan kekuasaan yang harus ia mainkan dengan cerdik-berbicara dengan para pejabat tanpa memperlihatkan perlawanan yang jelas, namun tetap berusaha membawa perubahan bagi rakyat pribumi. Di dalam hatinya, Triyani tahu bahwa ia tak bisa terus bersembunyi di balik senyuman dan prestasi-prestasi yang diakui secara formal. Akan datang hari di mana ia harus menghadapi VOC dan semua ancaman yang datang dari bayang-bayang mereka.
Hari semakin siang, dan suasana sekolah kembali penuh dengan tawa dan suara anak-anak yang belajar. Namun, di luar tembok kayu itu, Batavia tetap berdenyut dengan ketidakpastian dan bahaya yang selalu mengintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA: ANTARA CINTA DAN AMBISI.
Short StoryBastiaan meraba selendang sutra itu dengan hati-hati, membiarkan aroma lembutnya memanjakan indera penciumannya. "Triyani," bisiknya, suaranya serak dengan hasrat yang tak tertahan. "Kau akan menjadi bagian dari hidupku" "Aku akan membuatmu menjadi...