Malam mulai turun di Batavia, membawa serta angin lembut yang menyapu jalanan berbatu kota. Langit berwarna jingga berubah gelap, dan lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di sepanjang rumah-rumah besar serta kantor-kantor VOC. Suara alam dan kesibukan siang hari perlahan digantikan oleh detak langkah penjaga malam dan gemerincing kuda yang lewat di jalanan.
Di rumah Raden Ayu Triyani, suasana tetap tenang. Di balik dinding-dinding megahnya, ayahnya, Raden Sukatma, tengah mempersiapkan diri untuk makan malam dengan beberapa pejabat VOC. Triyani, yang baru saja pulang dari segala aktivitas nya berganti pakaian dan bersiap untuk bergabung dalam jamuan tersebut. Meski pertemuan dengan orang-orang Belanda ini bukanlah favoritnya, ia tahu bahwa sebagai putri dari pejabat tinggi, ia harus menunjukkan sikap yang anggun dan sopan, tanpa memicu kecurigaan atau ketidaksukaan.
Sore itu, Triyani mengenakan kebaya hitam dengan bordir emas yang halus, membuatnya tampak semakin elegan. Rambutnya ditata dalam sanggul yang rapi, seperti biasa. Ketika ia melangkah ke ruang makan besar yang telah diatur dengan apik, aroma rempah-rempah dari masakan khas Hindia Belanda memenuhi ruangan. Lilin-lilin besar menyala di atas meja makan panjang, menciptakan suasana yang hangat namun tegang.
Ketika ia masuk, pandangannya terarah pada sosok yang tak asing. Bastiaan van der Meer. Pria itu berdiri di ujung ruangan, berbicara dengan ayahnya. Dengan tinggi yang menjulang dan sikap yang dingin, Bastiaan tampak menguasai ruangan dengan kehadirannya. Rambut pirangnya yang rapi dan mata birunya yang tajam membuatnya menonjol di antara para pejabat lainnya. Ada sesuatu yang dingin dan berbahaya dalam tatapannya-seperti laut yang tenang namun menyimpan badai besar.
Triyani merasa dadanya berdebar, meskipun ia tidak memperlihatkannya. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu secara langsung, meskipun ia pernah melihatnya dari kejauhan. Bastiaan menoleh, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Tatapannya keras, tanpa senyuman, seolah menilai setiap inci dari diri Triyani.
"Raden Ayu Triyani," ayahnya memperkenalkan, "Ini Tuan Bastiaan van der Meer, salah satu perwira tinggi VOC yang baru ditugaskan di Batavia."
Triyani mengangguk ringan, menunjukkan kesopanan. "Senang bertemu dengan Anda, Tuan van der Meer," katanya, suaranya halus namun penuh wibawa.
Bastiaan menganggukkan kepalanya sedikit, tetapi tidak tersenyum. "Kehormatan ada di pihak saya, Nona Triyani," katanya dengan suara rendah yang dalam.
Jamuan makan malam itu berjalan dengan percakapan yang sopan namun penuh kehati-hatian. Para pejabat VOC dan orang-orang pribumi berbicara tentang perkembangan kota, perdagangan rempah-rempah, dan pengaruh kekuatan kolonial yang semakin kuat di Batavia. Triyani mendengarkan dengan seksama, namun pikirannya terus kembali pada Bastiaan. Pria itu jarang berbicara, tetapi setiap kali ia membuka mulut, kata-katanya tajam dan penuh perhitungan.
Setelah jamuan usai, Bastiaan mendekati Triyani di serambi rumah saat para tamu mulai beranjak pulang. Angin malam yang dingin menyapu lembut wajah mereka, sementara suasana di sekitar terasa semakin sunyi.
"Batavia adalah kota yang menarik," kata Bastiaan tanpa basa-basi, berdiri di samping Triyani dengan kedua tangan di belakang punggung. "Namun, tampaknya ada lebih banyak hal yang tersembunyi di sini daripada yang tampak di permukaan."
Triyani menoleh ke arahnya, matanya mengamati wajah Bastiaan yang dingin dan tanpa ekspresi. "Setiap kota memiliki rahasianya sendiri, Tuan van der Meer. Batavia bukan pengecualian."
Bastiaan menoleh, mata birunya yang tajam menembus mata Triyani, seolah mencari sesuatu yang lebih dalam dari kata-katanya. "Dan Anda, Nona Triyani, apakah Anda juga menyembunyikan sesuatu?"
Pertanyaan itu membuat Triyani terdiam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaranya-bukan ancaman langsung, tetapi lebih seperti tantangan yang terselubung. Ia tidak terbiasa dengan pria yang berbicara padanya dengan cara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA: ANTARA CINTA DAN AMBISI.
Короткий рассказBastiaan meraba selendang sutra itu dengan hati-hati, membiarkan aroma lembutnya memanjakan indera penciumannya. "Triyani," bisiknya, suaranya serak dengan hasrat yang tak tertahan. "Kau akan menjadi bagian dari hidupku" "Aku akan membuatmu menjadi...