Bagian 1

160 2 0
                                    


Hari pertama Raga bergabung di kantor baru menjadi momen yang ditunggu-tunggu banyak orang. Sejak pagi, suasana di ruangan sudah berubah. Banyak karyawan penasaran dengan kepala departemen baru yang katanya cerdas dan penuh kharisma. Juna, seperti yang lain, tidak terlalu memperhatikan di awal. Baginya, ini hanya kepala departemen baru, bukan sesuatu yang perlu ia khawatirkan.

Namun, ketika Raga akhirnya tiba, segalanya berubah untuk Juna. Raga berjalan dengan penuh percaya diri, mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya. Posturnya tegap, dan kemeja itu membungkus tubuh rampingnya dengan sempurna, memperlihatkan otot-otot yang jelas terawat. Setiap gerakannya terasa halus tapi mantap, menunjukkan bahwa Raga adalah seseorang yang terbiasa menjaga fisiknya. Dari cara dia berdiri, berjalan, hingga caranya tersenyum, semua itu memancarkan aura maskulin yang sulit diabaikan.

 Dari cara dia berdiri, berjalan, hingga caranya tersenyum, semua itu memancarkan aura maskulin yang sulit diabaikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juna tak bisa tidak memperhatikan Raga sepanjang pagi itu. Mata Raga berwarna gelap, dengan tatapan yang dalam dan menawan. Ketika Raga tersenyum, Juna merasa seperti ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya. Senyuman itu begitu menenangkan, tapi di saat yang sama, ada ketegasan di baliknya—sebuah kombinasi yang membuat Juna semakin tertarik. Juna merasa tertangkap oleh mata Raga, dan setiap kali mereka bertatapan, meskipun singkat, ada percikan kecil yang ia rasakan. Mata Raga seolah bisa berbicara lebih dari sekadar kata-kata, dan Juna tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Saat waktu makan siang tiba, Juna keluar untuk merokok di area terbuka dekat kafe kecil di sebelah gedung kantor. Ia tidak menyangka Raga mengikuti langkahnya ke tempat itu. "Boleh minta pinjem korek?" suara Raga memecah keheningan, membuat Juna tersentak dari lamunannya.

Juna terkejut, tetapi segera menyadari bahwa ini adalah kesempatan pertamanya berbicara dengan Raga. "Oh, boleh, Pak," jawabnya sambil menyerahkan korek api.

Raga tersenyum saat menyalakan rokoknya, mengisap dalam-dalam sebelum menghembuskan asap dengan santai. "Panggil aja Raga," katanya. "Ke gue ga usah terlalu formal."

Ketika Raga tersenyum lagi, Juna kembali merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Senyuman Raga memiliki pesona yang sulit dijelaskan—ramah, namun juga menantang. Setiap lekuk wajahnya tampak sempurna, mulai dari rahang yang tegas hingga dagunya yang kuat. Juna merasa semakin tertarik, bukan hanya karena penampilan fisik Raga yang menawan, tetapi juga karena cara Raga membawa dirinya. Ada sesuatu yang begitu maskulin tentang pria ini—gerak tubuhnya yang tegas, caranya berdiri dengan postur yang kokoh, dan bagaimana setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar penuh percaya diri.

 Ada sesuatu yang begitu maskulin tentang pria ini—gerak tubuhnya yang tegas, caranya berdiri dengan postur yang kokoh, dan bagaimana setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar penuh percaya diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Percakapan mereka pun mengalir dengan lancar. Mereka berbincang ringan tentang pekerjaan, suasana kantor, dan sedikit tentang hobi masing-masing. Namun, saat topik beralih ke teknologi, percakapan mereka menjadi semakin menarik. Raga mengungkapkan bahwa selain bekerja, dia juga sangat tertarik pada perkembangan teknologi terbaru. "Gue baru aja baca tentang chip baru yang didevelop buat ningkatin efisiensi energi di mobile device," katanya sambil menghembuskan asap rokoknya.

Mata Juna berbinar mendengar topik itu. "Oh, gue juga udah baca! Chip baru itu katanya bisa perpanjang battery life sampe 30%, ya?"

Raga mengangguk, tampak antusias. "Iya, gue bahkan mikir buat ganti laptop ke model paling baru yang pake teknologi itu. Kalau udah masuk sini, itu bisa jadi game-changer."

Juna mulai merasa lebih nyaman berbicara dengan Raga, dan topik teknologi ternyata menjadi jembatan yang membuat mereka semakin terhubung. "Gue juga seneng ngikutin perkembangan gadget. Beberapa bulan lalu gue upgrade hape ke model terbaru. Fitur kameranya gila banget, resolusinya hampir sama dengan kamera profesional."

Raga tampak tertarik. "Wah, keren! Gue suka fotografi, tapi jarang punya waktu buat itu akhir-akhir ini. Tapi kalau hape sekarang kualitasnya makin mendekati kamera DSLR, itu sih kepengenan semua orang, ya."

Juna tertawa kecil. "Iya, bener. Gue juga suka utak-atik gadget, kadang kalau ada waktu luang, gue malah asyik ngoprek komputer di rumah."

Mendengar itu, Raga mengangguk sambil tersenyum. "Kita kayaknya punya hobi yang sama. Gue juga suka utak-atik gadget, cuma sayangnya makin sibuk, jadi nggak sempat lagi."

Obrolan mereka terasa lebih santai, dan Raga bahkan beberapa kali tertawa ketika Juna menceritakan pengalamannya saat berusaha memperbaiki komputer yang rusak. Bagi Juna, ini adalah momen yang tidak ia duga—siapa sangka bos barunya yang terlihat serius ternyata punya selera humor yang menyenangkan dan hobi yang sama dengannya?

Namun, di balik semua itu, Juna tidak bisa berhenti memikirkan betapa menariknya Raga. Setiap kali Raga tertawa, matanya berbinar dan sudut bibirnya terangkat dengan sempurna. Juna terus memperhatikan bagaimana Raga berdiri dengan penuh keyakinan, tubuh rampingnya yang terbungkus kemeja ketat terlihat semakin mengesankan di bawah sinar matahari siang. Ada sesuatu yang tak terlukiskan dalam cara Raga bergerak—begitu maskulin, begitu alami.

Saat Raga selesai merokok dan kembali ke kantor, Juna hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Ada perasaan aneh yang terus menggantung di benaknya. Ia tahu bahwa Raga lebih dari sekadar kepala departemen baru. Dia adalah seseorang yang telah memikat Juna sejak pertemuan pertama mereka.

Malam harinya, ketika Juna berbaring di tempat tidurnya, pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang momen siang tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam harinya, ketika Juna berbaring di tempat tidurnya, pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang momen siang tadi. Tatapan mata Raga, senyumnya, dan caranya berbicara terus terngiang di kepala Juna. Di dalam hati, Juna tahu bahwa ini lebih dari sekadar rasa kagum pada atasan—ada sesuatu yang lebih dalam. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Raga, dengan segala pesonanya, mungkin tidak pernah akan melihat Juna lebih dari sekadar anak buah.

Namun, malam itu, sebelum Juna memejamkan mata, satu hal pasti—Raga telah menjadi orang yang akan terus membayangi pikirannya.

-bersambung-

RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang