16. Nembak

757 38 19
                                    

"Capek sekali!" Yuna bersandar di sofa panjang miliknya di kamar.

Hari ini adalah hari terletih daripada hari-hari yang pernah ia alami. Bahkan, lebih daripada saat Yuna menjadi seorang office girl.

Bagaimana tidak?

Menjadi orang-orang yang harus mematuhi semua aturan itu cukup sulit baginya sebagai orang yang terlahir sebagai manusia biasa.

Keturunan bangsawan saja belajar dari kecil agar bisa menguasai semua latihan. Bagaimana dengan Yuna yang baru saja belajar di umur yang cukup dikatakan tua untuk semua itu?

"Aku tidak tahu apakah ini disebut dengan keberuntungan atau kesialan. Siang hari aku harus belajar semua ini sambil memakai gaun yang bahkan tidak bisa aku atur sesuai kemauan. Malamnya aku harus-Ah, sudahlah!" Yuna menghentikan ucapannya sambil mengubah posisi berbaring di sofa dan membatalkan kedua tangannya di sana.

"Nona!" teriak Alya tiba-tiba muncul di hadapan pintu. Tangannya sudah membawa sesuatu. Terlihat sebuah gelas minuman yang berisi air segar di sana.

"Selamat datang, Tuan!" Yuna terkejut bukan main sampai tidak sadar berdiri dengan tegak di sana. Pelatihan sikap membuatnya waspada terhadap segala situasi. "Sialan!" ucapnya sebelum menyadari keberadaan orang yang berada di hadapan.

Alya merasa canggung saat melihat Yuna terkejut seperti itu. "Maafkan saya, Nona."

"Ish!" Yuna duduk kembali di sofa dan memandang ke arah gelas yang di bawa Alya. "Kamu sangat peka. Itu minuman buatku, 'kan? Berikan padaku. Aku haus...."

Alya mengeleng. "Bukan untuk Nona, tapi Nona diperintah untuk membawanya."

"Membawanya kemana? Alah! Pelatihan lagi ini ceritanya." Yuna mulai duduk menjongkok di sofa lalu memandang Alya dengan wajah kesal.

"Tuan Gabriel latihan tembak-menembak di belakang halaman. Pelatih menyuruh Nona untuk membawa air ini ke sana." Alya mendekati Yuna dan berdiri di hadapannya dengan sopan.

"Tuan kamu itu sudah tidak punya tangan?" Yuna langsung membetulkan duduknya sambil memandangi air yang terlihat begitu menyegarkan. Dalam hitungan detik, ia langsung merampasnya dan meminum benda itu sampai habis.

Alya membelalak. "Nona!"

"Ambil yang baru. Katakan saja kepada pelayan kalau aku tidak becus membawanya dan tumpah. Suruh ganti baru, aku akan membawakannya kepada pemalas itu."

"Nona...." Alya merengek lalu mau tidak mau menerima perintah Yuna dan mundur ke belakang beberapa kali sebelum akhirnya keluar untuk mencari air penganti.

Sementara di halaman belakang, Gabriel sedang mengisi pelurunya. Ia menembak ke arah titik tumpuan dengan sempurna. Tidak ada yang meleset sama-sekali.

Pikirannya bercampur aduk dengan segala permasalahan yang menimpa kehidupannya baru-baru ini. "Kamu tidak usah pulang, sialan!" ucapnya di sela-sela melanjutkan tembakan ke arah kepala titik tumpu.

Yuna berjalan dengan hati-hati sambil berusaha untuk menahan suara yang begitu nyaring dan mengelegar; suara tembakan.

Kena kepalaku itu langsung mati. Yuna bergidik ngeri setelah membayangkan sebuah peluru mengenai kepalanya.

Gabriel melirik ke arah samping sekilas sebelum lanjut mengisi peluru miliknya. "Ada apa ke sini?"

"Saya membawakan minuman segar, Tuan." Yuna berjalan diperlambat sambil menerapkan semua ajaran pelatih tata krama mansion.

"Kenapa kamu berjalan seperti itu? Masih sakit?" Lelucon tiba-tiba mulai dikeluarkan Gabriel saat melihat Yuna bertingkah tidak seperti biasanya.

Yuna merasa geram, ia hendak membalas dengan kalimat yang tajam, tapi sadar Gabriel sedang memegang senjata api sekarang. "Ini hasil latihan saya, Tuan."

Gabriel mengambil gelas itu dan meminum airnya sampai habis, karena tahu pasti Yuna masih diawasi oleh pelatih istana.

Gabriel meletakkan pistol dan gelas kosong di atas nampan yang di bawakan pelayan pribadinya, lalu mengambil pistol baru dan memeriksanya. Setelah itu ia memberikan isyarat kepada pelayan itu untuk pergi sambil membawa para penjaga lain di sana. Sehingga, tempat itu sepi manusia selain mereka berdua.

Yuna hendak tersenyum lebar. Namun, ia berhenti melakukannya karena itu termasuk tata krama tidak sopan, mungkin. "Maafkan saya."

Yuna melirik ke arah titik tumpuan peluru yang sudah memiliki banyak lubang. "Maaf lancang, sudah berapa lama Tuan belajar benda seperti ini?"

"Umur lima belas tahun." Setelah menjawab itu Gabriel kembali menembaki benda tersebut berulang kali.

Nah, kan sudah kubilang mereka belajar dari kecil.... Yuna refleks menutup telinganya kuat-kuat. Kenapa dia tahan tanpa penutup telinga?

Gabriel menghentikan aktivitasnya saat melihat Yuna begitu kuat menutup telinganya. "Apakah kamu mau menyentuhnya?"

"Hah?" Yuna terkejut karena Gabriel menawarkan pistol miliknya.

Yuna refleks melihat ke arah lain, mencari-cari keberadaan pelatihnya yang mengawasi sejak tadi. Ia hendak bertanya apakah itu boleh, tapi tidak ada orang satupun lagi di sana. Mereka semua mematuhi perintah Gabriel. Luar biasa, hanya dengan anggukan kecil dan sorotan mata, mereka semua enyah dari sini.

"Apakah boleh?"

"Apakah kamu tidak penasaran. Apakah kamu tidak ingin berlatih untuk menembak orang-orang yang membuatmu kesal?"

Orang yang membuatku kesal itu kamu. Masa aku berlatih dengan orang yang ingin aku bunuh...? Tidak juga, sih.

Yuna mengambil pistol yang diulurkan Gabriel kepadanya.

Tiba-tiba Gabriel langsung mencengkram baju Yuna dan mengarahkan gadis itu menghadap arah titik tembakan. Dia membetulkan posisi bahu Yuna dan memberikannya sebuah penutup telinga dan kacamata khusus. "Tenangkan hatimu dan jangan gugup. Arahkan pistol ke titik tumpu yang kamu inginkan, ke arah kepala, dada, atau baju. Terserah saja."

Tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan lagi. Hal itu membuat Yuna sedikit takjub karena yang melakukannya adalah dia sendiri.

Meskipun tidak ada peluru yang mengenai titik tumpu, tetapi ia sangat senang sampai timbul perasaan aneh di sana. Aku melakukannya!

"Relaks." Gabriel meluruskan dan merapikan jari-jari Yuna di pistol lalu mengarahkan benda itu ke arah jantung patung titik tumpu. "Dor!" ucapnya sebelum mengisyaratkan Yuna menarik pelatuk.

Kena. Yuna sangat terkesan, tetapi tangannya mendadak lemas. Perasaan luar biasa ini terasa sangat baru.

Yuna memandang ke arah Gabriel dengan wajah sepenuhnya senang. "Saya bisa!"

Gabriel menggangguk kecil sambil tersenyum di ujung bibirnya.

"Tuan, saya lelah." Yuna tiba-tiba melemaskan tangannya ke bawah setelah memberikan pistol itu kepada Gabriel.

"Kamu lelah? Kembalilah kepada tempatmu dan beristirahat."

Yuna menatap Gabriel lagi dengan wajah ketidakpercayaan. Baru kali ini pria itu menunjukkan perhatian secara terang-terangan.

"Kenapa?" tanya Gabriel sambil menatap dengan wajah kebingungan.

"Tidak. Hanya saja, Tuan sangat tampan dilihat dari dekat."

"Pulanglah ke gedung utara, sebelum aku memakanmu."

"Siap!" Yuna baru tersadar terhadap sesuatu. Sejenak ia merapikan gaunnya dan menunduk sopan. "Baiklah, Tuan."

Gabriel hendak tertawa lagi melihatnya. Ia juga tidak terbiasa dengan sikap Yuna yang baru, apalagi pelatihan yang dipaksakan. Hanya saja, egonya terhadap perkataan Damari yang mengatai-ngatai Yuna begitu besar.

Kampungan lebih baik dari murahan, Damari.

Gabriel menghela napas panjang saat melihat Yuna yang sudah berjalan jauh meninggalkannya di sana.

.
.
.
.
.

Seperti biasa, akan update kembali jika sudah sampai 40 vote.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEBT LEGACY 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang