AIR MATA DI SUDUT MESIR

0 0 0
                                    

Cerpen hasil duet...
-AIR MATA DI SUDUT MESIR- Karya Myla Rhiffa
dan Mufidatun Fauziyah. Dibaca yaaa..
Lalu tinggalkan jejak.

“Bahkan kelelawar pun masih dapat
terbang bebas di malam hari...” Gadis
itu—Shautik El-Kamil menggerutu
sendirian di balik kaca jendela
kamarnya. Mengutuki nasibnya
sendiri. Ia menghela nafas panjang. Jalanan
yang sedari tadi dilihatnya sepi.
Kendaraan pun tak ada yang lewat.
Benar-benar hampa, seperti hati
Shautik saat ini. Bukan saat ini saja,
tapi sejak dulu. “Karena kau memiliki Xeroderma
Pigmentosa, Shautik” Kata-kata pak
Ahmad, ayahnya, kembali menguar di
pikiran Shautik.

“Penyakit itu hanya tidak
memperbolehkan aku terkena sinar matahari, Abi. Dokter bilang, malam
hari aku diperbolehkan keluar,” sahut
Shautik saat itu.
Kedua bola mata pak Ahmad kontan
menatap Shautik. Tajam. Shautik
hanya dapat menunduk. Kalau ia melawan lagi, Shautik hanya akan
mendapat tamparan bertubi-tubi.

Pandangan Shautik yang sempat buram
kini berubah menjadi jelas lagi. Air
matanya perlahan meleleh. Ia pandangi
lagi Mesir yang kian menguning. Sebentar lagi senja akan
menghampirinya. Menawarkan
kenikmatan dunia luar yang tak pernah
dapat dinikmati Shautik sekecap pun.
Berjalan-jalan di pusat perbelanjaan,
menari bersama teman-teman di klub malam, berpacaran, menonton film di
bioskop, bahkan hujan-hujanan.
Shautik tak bisa mencicipinya satu
pun.
Ekor mata Shautik mendadak melihat
seorang pria tampan nan tinggi tengah berdiri di samping jalan raya.
Sudah
beberapa hari ini Shautik melihatnya.
Ia mengenakan setelan jas warna hitam
dan berdasi. Apabila hari minggu, pria
itu pasti menaiki sepeda lipatnya,
sebelah tangannya membawa balon berwarna-warni.
Dan, tepat, hari ini hari minggu. Sedari
tadi, sesungguhnya ia menanti pria itu.
berharap pria itu menengadahkan
kepalanya ke atas dan melihat Shautik
yang berdiri di balik jendelanya.

Satu menit kemudian, satu balon merah
terlepas dari genggaman pria itu. Balon
itu terbang ke atas dan tertambat tepat
di depan jendela kamar Shautik karena
tertaut sesuatu. Betapa terkejutnya
Shautik saat itu. Sang pria kontan menengadahkan kepalanya, dan saat itu
juga, mata mereka saling bertautan.
Tatapan mata pria itu sungguh
membuat degup jantung Shautik
terhenti untuk beberapa saat.
Sang pria seperti mengatakan sesuatu, tapi Shautik tak dapat mendengarnya
dengan jelas. Ia juga tak mungkin
membuka jendela atau kalau tidak
seluruh kulitnya akan kering dan
lamat-lamat dapat menimbulkan kanker
yang dapat mempercepat mautnya. “Ta’ala huna yaa Ummi—Kemarilah,
Ummi!” panggil Shautik kepada ibunya
yang tengah memasak di dapur. El-
Shofia Marikh yang merasa dipanggil
kontan berjalan mendekati putri
semata wayangnya. “Maa khadatsa, yaa Shautik—apa yang
terjadi, Shautik?” sahut bu Shofia
lembut masih dengan membawa sendok
sayurnya.
“Kurasa pria itu ingin aku
mengambilkan balonnya.” Shautik menunjuk balon merah yang tergantung
di depan jendela.
Bu Shofia tersenyum dan memberi
kode kepada Shautik untuk mundur
beberapa langkah, agar tidak terkena
sinar matahari. Bu Shofia membuka jendela sedikit,
dan terlibat pembicaraan dengan pria
itu. Tak lama kemudian, bu Shofia
telah memungut balon itu di tangannya
dan memberikannya pada Shautik.
“Kata pria tadi, balon ini untukmu...” Bu Shofia tersenyum.
Shautik yang mendengar itu kontan
terseyum. Seperti ada mawar yang
tertanam di bibirnya. Shautik
mengamati detail balon tersebut, dan ia
temukan sebuah kertas bertuliskan kata-kata mutiara.
“Masmuki ya Humairoh—siapa
namamu, Humairoh? Terlalu banyak
warna untuk uraikan keistimewaan
sang wanita yang selalu terjaga di
dalam rumahnya. Anti-Lathifahul Qolbi —kau gadis yang baik hati”
Shautik terpaku beberapa saat, ia
merasakan pipinya memerah dan
kembali membaca tiap kata dalam
kertas yang berada ditangannya.
Ia bergegas menuju jendela kamarnya dan melihat kebawah namun pemuda
tadi sudah tak berada disana.

"Maadza tatakalam, Shautik—apa
katanya, Shautik?" Shautik menoleh
menatap ibunya, ia menyembunyikan
kertas dalam genggamannya dan menggeleng dengan lugunya. Bu Shofia
mengusap kepala Shautik dan berkata,
"kau tetap putri Ummi yang
menggemaskan."
Shautik tersenyum memperlihatkan
keindahan wajah cantiknya.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang