LARAS (CERPEN)
Author: Myla RhiffaRamadhan sudah hiasi bumi Tuhan. Umat muslim sedunia menyambutnya dengan berbagai cara. Namun, aku rasa tak ada yang istimewa. Semua berjalan datar-datar saja tanpa ada secuil semangat untuku menjalankannya.
Aku hanya ikut solat 23 rokaat setelah isya, dan niat untuk besok menahan haus dan lapar. Berbuka diwaktu magrib dan begitu saja selanjutnya hingga kini puasa sudah berjalan 12 hari.
Katanya, ramadhan itu bulan yang penuh berkah. Tapi aku tak merasakannya. Aku malah merasa penat karena kesibukan ramadhan yang makin menggunung. Biasanya aku bekerja dengan makan siang yang sudah tersedia, kini hanya bisa makan di malam hari. Padahal, pekerjaan menjadi manager sepertiku menguras otak. Setidaknya, aku bisa ngopi dan menyantap camilan yang diantarkan OB dari pantri. Ini tidak. Hanya diam menahan lapar dan haus. Menepis suara perut yang keroncongan.
Belum lagi, bila sudah sampai di rumah orang tuaku akan memberikan ceramah yang panjang lebar. Katanya puasa yang benar. Solat jangan ditinggal. Kerjaan selesaikan. Baca Al-Qur'an, aku mana sempat? Berangkat kerja jam setengah 6 dan pulang menjelang magrib. Lalu, ikut solat 23 rokaat. Setelah itu sudah pasti aku maunya ikut nongkrong di cafe-cafe bersama temanku. Yah, sambil cuci mata. Besoknya puasa, mana bisa aku sebebas malam hari?
Yah, perutku makin terasa kosong, perih, meronta-ronta minta diisi. Huufft..Bagaimana jika aku makan saja? Bukankah tak akan ada yang tau jika kulakukan sembunyi-sembunyi?
Dari pada tak tahan karena haus dan lapar. Bagaimana jika nanti aku malah mati kelaparan?
***istirahat di siang hari. Aku memutuskan mencari tempat yang strategis untuk bisa menyantap makanan. Tak peduli ini belum jamnya berbuka. Toh, orang kantor tak ada yang tahu aku bolong puasa hari ini. Yang penting, tak terlihat seperti sudah makan.
Aku mencari-cari tempat tersembunyi. Sudah biasa seperti ini bersama teman-teman nongkrongku yang sama tak kuat puasa denganku. Aku memutuskan ke warung kopi pojok dekat bundaran HI. Disana sudah ada beberapa temanku.
Motor Ninja ini kuparkirkan di depan warung yang ditutup bagian depannya. Meskipun warung, jangan bayangkan suasana di dalamnya. Karena ini warung yang berbeda. Didepan seperti warung kopi kebanyakan yang lusuh dan berdebu. Namun, warung ini sangat di desain di bagian dalamnya menyerupai cafe dan yang menyenangkan adalah pelayan wanitanya. Cantik, sexi dan modis. Haha.
***
Saatnya kembali ke kantor. Dua gelas sup buah dan nasi bakar sudah kulahap tanpa sisa. Kulajukan Ninjaku dengan kecepatan diatas rata-rata karena ramadhan ini jalanan tak terlalu ramai. Dari arah berlawanan, aku melihat ada anak dengan sepeda butut dan tak tentu apa warnanya. Mataku tiba-tiba kehilangan ketajaman melihat kedepan karena terik matahari yang langsung mengenai bola mataku. Aku kehilangan kendali dengan kecepatan motorku, aku rem mendadak, dan tanganku yang tengah mengemudi lepas seketika. Aku terjatuh namun masih bisa menyeimbangkan diri. Aku tak memikirkan Ninjaku yang terpental saat kulepaskan. Terdengar suara rintihan seorang anak SD yang kesakitan. Aku menoleh dan melihat anak perempuan sekitar 9 tahun-an terjatuh dari sepeda usangnya karena Ninjaku menabraknya keras. Darah bercucuran dari pelipis kanannya. Seketika aku gemetar dan mendekatinya dengan tubuh yang lemas. Aku makin bergidik ngeri saat melihat sobekan panjang dengan darah yang mengucur di kaki kanannya. Oh God!
***Bagaimana mungkin aku tak terluka sedikitpun? Anak manis ini yang luka parah.
Aku menatap wajah kusamnya berharap ia mengerjapkan matanya, dan berkata ia baik-baik saja.
Hari semakin sore. Aku tak melepaskan pandanganku dari anak SD itu barang 1 detik saja.
Aku tak berani memberitahu orang tuaku atas masalah ini.
Selang beberapa menit. Aku melihat anak SD itu membuka matanya perlahan. Rasanya aku tenang dan tak takut harus bertanggung jawab bila nyawanya tak tertolong.
"Aku dimana? Kakak siapa?" tanyanya gemetar saat melihatku. Aku menenangkannya dan memberitahu apa yang sudah terjadi.
Setelah itu, Ia menatapku lama.
"Kak, mulutnya ko wangi makanan ya. Kakak tidak puasa?"Deg!
Aku terdiam saat itu juga.
***Malam ini aku mangkir tarawih. Sebenarnya bukan malam ini saja. Aku berangkat dari rumah memakai koko, sarung dan peci. Tapi, sampai belakang mesjid aku buka semuanya, kumasukan baju dan sarung ke dalam badan motor dan pergi menikmati indahnya Jakarta.
Kuparkir motor di depan cafe. Aku membuka helm dan hendak masuk ke dalam cafe. Namun, aku berhenti saat melihat anak SD yang beberapa hari lalu terluka karenaku. Aku menghampirinya yang tengah duduk di tepi parkiran dengan sebuah kantong plastik hitam di tangannya.
"Hei, masih ingat aku?" sapaku dengan senyuman simpul. Anak perempuan itu menatapku, dan ikut tersenyum.
"Kak Galang!"
"Masih ingat ternyata. Sedang apa disini?"
"Aku... Hehe, tidak kak. Aku sedang istirahat saja disini."
"Istirahat? Dimana rumahmu? Ini sudah malam, kamu masih kecil dan sendirian."
"Aku tidak punya rumah, kak.." Aku terdiam karena jawabannya.
"Kakak tidak tarawih?" tanyanya.
"Kakak lagi pengen jalan-jalan malem, nih."
"Aku mau tarawih, tapi tidak punya mukena."
"Hmm.. Kamu masih punya orang tua?" tanyaku hati-hati.
"Tidak. Aku tidak tahu apa itu orang tua."
"Lalu selama ini, siapa yang membesarkanmu?"
"Bibiku." dia lalu memeluk lututnya yang ringkih.
"Pulanglah, nanti bibi kamu nyariin."
"Aku gak berani pulang, aku gak bawa uang, nanti bibi memarahiku." aku tersentak atas jawabannya.
"Biasa cari uang bagaimana?"
"Mengemis, kak. Kadang membantu orang lain."
Aku terdiam cukup lama. Anak sekecil ini bekerja sendiri, tak bawa uang dimarahi? Ah, dunia memang kejam.'Krruuk, krukk'
Aku menoleh dan menatap gadis kecil itu. Ia menundukan kepalanya malu.
"Kamu lapar? Belum makan?" tanyaku. Dan gelengan kepalanya membuatku menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam salah satu tempat makan yang berjejer di dekat cafe."Kak, terima kasih. Ini makanan terenak yang pernah kumakan." ucapnya tersenyum penuh arti.
"Sama-sama. Jadi sejak tadi kamu belum buka puasa?"
ia menggeleng lagi.
"Aku sudah minum dari sisa aqua yang dibuang orang-orang kok. Dan buatku setiap hari itu puasa." jawabnya sambil tertawa polos.Aku jadi teringat bagaimana denganku yang sudah dewasa, mampu berpuasa, makanan tersedia, tapi tak menjalankan perintah-Nya dengan sempurna. Manusia macam apa aku ini.
"Pulanglah. Beli makanan yang banyak buat kamu sahur dan berbuka esok hari. Kalau bibimu bertanya, bilang saja tadi ada yang beri uang. Dan uang sisanya kasih ke bibi kamu itu."
"Terima kasih banyak ya kak. Kakak baik banget. Aku pasti jaga semua uang yang kakak kasih, sedikit aku tabung boleh?"
"Boleh..." jawabku menatap wajah polosnya. "Laras pulang ya, kak." ia menyalami tanganku. Tadi, aku hanya memberinya uang 50 ribuan empat lembar. Lalu setelah itu, ia pulang dengan langkah kaki yang tidak selemah tadi. Mulai menjauh dari pandangan mataku, dan tak terlihat lagi dibalik trotoar jalanan.
***Sudah hampir 2 jam menikmati malam di cafe. Mataku mengantuk. Aku putuskan untuk pulang ke rumah.
Kulajukan motorku perlahan dan santai. Teringat gadis kecil lemah tadi. Aku jadi malu semalu-malunya pada diriku sendiri. Banyak sekali dosa yang kulakukan. Banyak sekali yang kulewatkan dari detik-detik berkah sang ramadhan. Sampai ke rumah, hal yang ingin kulakukan hanya meminta maaf pada orang tuaku, dan memohon ampun pada Tuhanku. Aku ingin perbaiki diri, dan siapa tahu bisa lebih baik lagi.
Tiba-tiba saja aku memiliki cita-cita membuat rumah panti untuk anak-anak yang tidak beruntung.
Terdengar suara bising dan teriakan histeris di bahu jalan. Aku berhenti dan melihat apa yang terjadi. Masyarakat berkerumun di satu titik. Aku mendekati kerumunan tersebut, dan mendapati seorang gadis yang beberapa jam lalu kutemui, tergeletak lemah tak berdaya di atas aspal dengan darah bercucuran dari hidung dan kepala bagian belakangnya. Ditangannya ada beberapa kantong plastik yang berisi makanan dan entah apalagi. Seketika tubuhku melemas dan memegang denyut nadinya. Tak berdetak. Tak bergerak. Tak lagi.... Bernafas.
"Yang nabrak udah kabur."
"Parah gak tanggung jawab."
"Hei tolongin, bawa ke rumah sakit."
"Kasihan banget, anak siapa sih malem-malem dibiarin keluyuran."
Suara-suara manusia yang bersahut-sahutan itu tak kupedulikan."Laraas!" teriaku histeris.
The End.
#KdM
*Leotenne