Chapter 1

23 2 0
                                    


"Bagaimana? Sah?"

"SAH!"

Suara sorakan gembira itu bisa ku lihat, tetapi tak bisa ku dengar. Seakan menonton sebuah film yang audionya menghilang atau sengaja di-mute. Bisa kulihat ekspresi semua orang yang tampak bahagia di momen yang hanya terjadi sekali seumur hidup ini. Ada yang mengamini, ada yang tersenyum lebar, semuanya bisa ku lihat.

Tetapi senyuman pria itu sama sekali tak nampak di wajahnya. Tak satu kali pun.

Begitu juga denganku. Aku duduk disini menatap kosong ke depan. Hari pernikahan seharusnya menjadi momen bahagia yang tak akan pernah terlupakan bagi mempelai pria dan wanita.

Tapi disinilah kami. Menjadi warna biru di kerumunan warna cahaya pagi yang indah. Menjadi satu-satunya pihak yang tak bahagia di momen spesial ini.

Aku selalu percaya bahwa semua bisa digapai asalkan kita mau bekerja keras untuk menggapainya. Aku benar-benar mempercayainya dari lubuk hatiku yang paling dalam.

Sampai suatu saat aku di tampar oleh kenyataan pahit. Ditampar oleh sosok mutlak yang bernama realita kehidupan.

Aku adalah anak pertama di sebuah keluarga miskin. Kami hanya terdiri dari 3 anggota keluarga. Bapak, Aku, dan Adik perempuanku Andini. Usaha Bapak bangkrut, karena saudara dari pihak ibu yang selalu meminta dikirim jatah bulanan.

Bapak memiliki sebuah prinsip. Jika memiliki uang, keluarga kecil kamilah prioritasnya. Jika uangnya terbatas, maka uang itu tak akan diberikan pada pihak lain. Meskipun yang memintanya adalah saudara dekat.

Tapi ternyata... Ibu mengkhianati kami. Beliau yang diberi kepercayaan penuh oleh Bapak mengelola keuangan kami, malah diam-diam menyimpan uang hak milik kami dan memberikannya kepada Nenek dan saudara-saudaranya. Tidak sedikit, melainkan sebagian besar. Ibu hanya menyisihkan sebagian kecil untuk kami. Hanya cukup untuk makan setiap bulannya.

Bapakku adalah suami yang baik, begitupun aku dan adikku. Kami berdua bukan tipikal anak yang menuntut macam-macam pada orang tua seperti anak orang kebanyakan. Hanya dengan semangkuk bakso seharga sepuluh-ribu-rupiah sudah bisa membuat kami bahagia. Apalah itu pakaian bermerek dan handphone boba? Sama sekali tak terlintas kalau makanan enak sudah ada di hadapan kami.

Ya. Kami memang semudah itu bahagia.

Tapi... entah kenapa tuhan begitu kejamnya memberi kami sosok ibu yang benar-benar tidak peduli pada darah dagingnya sendiri. Bapak yang gajinya bisa mencapai lima-belas-juta-rupiah perbulannya kala itu bisa termasuk golongan pengusaha sukses. Tapi kemana uangnya?

Bahkan untuk membeli bakwan seharga lima-ratus-rupiah saja tidak diperbolehkan. Semua uang pengeluaran kami diirit habis-habisan supaya bisa setoran ke 'Nyonya besar'.

Mau semudah apapun kami bahagia, kami tak pernah merasa bahagia.

Roda kehidupan ternyata memang nyata dan sekejam itu. Bapak yang dulu bisa masuk ke jajaran pengusaha sukses, kini uang untuk sesuap nasi pun tak ada ditangan. Habis manis sepah dibuang. Setelah uang diporoti habis-habisan dan usaha Bapak mulai kekurangan modal, Ibu pergi meninggalkan kami semua.

Ibu menjalin hubungan dengan seorang Kyai. Meskipun ternyata kata tetangga sekitar, pria paruh baya itu bukan benar-benar seorang Kyai. Lebih ke seorang penipu yang menggunakan kedok agama sebagai iming-iming penyembuhan alternatif.

Yang membuatku merasa malu adalah... Aku mengetahui dari ibu-ibu tetangga rumah kalau sebenarnya hubungan Ibu dengan Kyai itu sudah berjalan ketika Ibu dan Bapak masih resmi menikah. Ibu sering berdiri di pinggir jalan. Senyum-senyum sendiri sambil mengetik pesan di handphonenya.

Luka di Balik Warna PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang