"Kakak... Baik-baik ya, disini." Ucap Andini, adik perempuanku. Kedua lengannya merangkul tubuhku dengan erat.
Semua rangkaian acara pernikahan akhirnya selesai. Lelah. Sungguh lelah. Ternyata pura-pura tersenyum bisa menguras tenaga sebanyak ini. Aku jadi kagum dengan semua artis pemain film. Mereka bisa berakting dengan apiknya, menutup perasaan sesungguhnya dan menampilkan ekspresi yang diminta oleh sutradara. Ternyata pekerjaan mereka jauh lebih sulit dari yang kubayangkan.
Aku punya alasan kuat untuk terus bersandiwara. Adikku tengah melihatku. Aku tak ingin dia mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Adikku adalah anak yang baik. Dia pasti tak akan diam saja mengetahui kalau kakaknya menikah demi bisa mengidupi dan menyekolahkannya sampai tamat.
Biarkan aku menjadi sepatu indah di dalam lemari kaca. Hanya ada untuk dipajang. Selama Andini bisa mendapat kehidupan yang lebih baik, aku rela.
Ku lepaskan pelukanku, kemudian kutepuk pelan kepala Andini, "Iya... Kamu juga baik-baik di rumah ya... Sekolah yang bener."
Andini mengangguk dengan antusias. Senyumannya yang cerah bagai matahari itu adalah penerang di hidupku yang gelap.
Aku menengok ke arah Bapak. Ekspresi wajahnya terlihat sangat merasa bersalah. Ketara sekali. Aku memeluk tubuh Andini lagi. Aku tak akan membiarkan adikku satu-satunya melihat ekspresi itu. Tak apa semuanya jadi begini, asalkan Andini bahagia. Asalkan Andini memiliki kehidupan yang lebih baik dariku.
Ayah dan Andini sudah pulang. Kini hanya ada aku sendiri disini. Di rumah yang bisa dibilang terlalu luas mengingat yang tinggal di dalamnya hanya dua orang saja. Rumah dengan desain modern minimalis berwarna putih dengan aksen abu dan beberapa tone warna kayu. Terdapat 4 kamar dan 2 kamar mandi. Salah satu ruang kamar dijadikan ruang kerja Danu. Suamiku.
Dari luar, rumah ini terlihat sangat elegan. Dari penampakannya saja bisa dilihat kalau pemilik rumah ini cukup berada. Berbeda sekali dengan rumahku yang dulu.
Sebenarnya, di bilang rumahku juga bukan. Kami hanya mengontrak. Selalu begitu. Pindah ke satu tempat ke tempat lain karena harga sewa yang semakin naik semakin lama kami menetap disana.
Kupandangi rumah itu dari teras. Sebuah senyuman simpul terlukis di wajahku.
"Dia kerja apa ya, bisa punya rumah sebagus ini?" tanyaku pelan.
Pertanyaan semacam itu selalu kutanyakan diam-diam. Orang bisa punya mobil semewah itu, mereka kerja apa ya? Dia bisa makan makanan mewah dalam jumlah besar begitu, kerja apa ya?
Karena dalam kasus ku... sekuat apapun aku berusa tak ada yang berhasil.
Sekuat apa usahaku, hanya tuhan yang tahu. Karena manusia hanya melihat dan mengukur usaha seseorang dari hasilnya. Aku yang benar-benar sudah mencoba berbagai macam cara ini dan gagal berkali-kali akan selalu dicap malas. Tak mau berusaha.
Demi tuhan, aku sudah mencoba. Tapi sisanya benar-benar diluar kuasaku.
Saking asiknya melihat penampakan rumah dari luar, aku sampai tak menyadari Danu tengah bersandar di mulut pintu. Melipat kedua tangan dan menatapku dengan tatapan yang tak mengenakkan.
Mungkin ini adalah salah satu dari sekian banyak kekurangan yang kumiliki. Aku kesulitan memahami isi pikiran orang lain. Kenapa dia berekspresi seperti itu ya? Aku sama sekali tidak bisa menebaknya.
Danu sudah kembali memakai baju rumahan. Kaos biru dongker dengan celana pendek warna cream. Perpaduan warna kulit dan kaos biru itu sangat bagus. Kohesif sekali. Seakan membuat kulit putih pria itu jadi semakin bersinar di bawah cahaya lampu depan rumah yang berwarna putih.
![](https://img.wattpad.com/cover/376734524-288-k541520.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Balik Warna Putih
Roman d'amourDewi adalah seorang wanita penderita Xantophobia. Hal itu disebabkan karena banyaknya kegagalan yang ia alami ketika menjadi seorang Webtoonist dan Illustrator. Belum lagi kondisi keluarganya yang ekonominya berada di ujung jurang. Padahal Dewi juga...