Chapter 3

6 0 0
                                    


     "He? Kenapa??"

Saat ku tatap laptop di hadapanku, mendadak saja, seluruh tubuhku kaku. Ada sebuah perasaan dalam diri yang seakan mengikat tubuhku. Padahal tak ada apa-apa disana. Hanya ada sebuah kanvas putih di dalam program gambar digital yang selalu menemaniku berkarya selama ini. Hanya ada itu.

Tapi kenapa seluruh tubuhku seakan terkena paralyze. Seperti seseorang yang tengah menghadapi sesuatu yang sangat menakutkan? Kenapa?

Degup jantungku berdetak semakin cepat. Nafasku bahkan sampai terengah-engah. Keringat di pelipis mulai mengucur kian derasnya. Akhirnya, dengan sedikit kekuatan yang tersisa, kututup layar laptop itu dengan cepat.

Dan semuanya membaik ketika kanvas itu hilang dari pandangan mata.

Suara ketukan pintu menarik perhatianku kembali ke alam nyata. Suaranya berasal dari pintu depan rumah.

"Siapa yang datang ya?" Tanyaku pelan.

Aku mengusap keringat di wajahku menggunakan pergelangan tangan. Ada cukup banyak ternyata. Sembari melangkahkan kaki, aku menghirup nafas sebanyak-banyaknya. Sampai batas maksimal oksigen yang bisa ditampung oleh sepasang paru-paruku.

Ku buka pintu rumah dan ku dapati ada seorang wanita paruh baya yang sejak tadi mengetuk pintu.

"Oh! Bik Surti!" Ucapku dengan senyuman mengembang. Ternyata yang datang adalah pembantu rumah ini.

"Selamat pagi, non Dewi." sapanya sambil membungkukkan badannya.

"Masuk, Bi. Masuk silahkan." ucapku seraya mempersilahkan wanita paruh baya itu masuk."

"Non Dewi sudah sarapan belum?" tanya beliau.

"Belum, Bik."

"Sarapan dulu, non. Tadi pas perjalanan kemari, saya beli bubur ayam. Ayo makan sekarang mumpung masih hangat." setelah melemparkan sebuah senyuman, Bik Surti bergegas melangkahkan kedua kakinya menuju ruang dapur.

Terdengar beberapa bunyi piring yang bersenggolan, kemudian ada suara mangkuk yang di letakkan di atas meja. Saking sunyinya suasana rumah ini aku bisa mendengar semuanya.

Aku bergegas menghampiri wanita yang umurnya sudah lebih dari 40 tahun itu.

"Bik Surti, saya sendiri aja yang nyiapin makanannya." ucapku cepat.

"Nggak usah non, saya saja. Non Dewi tinggal nunggu aja di meja makan. Cuma nuang sebentar kok." ujarnya sopan.

"Tapi..."

"Sudah non, nggak apa-apa." beliau mendekat, kemudian menggandeng lenganku, dan membawaku kembali duduk di kursi meja makan. Menepuk bahuku dua kali sebelum akhirnya beliau kembali pergi ke dapur.

Sungguh tak enak hati rasanya diurusi sampai sebegininya. Aku tak pantas menjadi seorang majikan. Orang gagal sepertiku ingin menjadi tuan orang lain? Jangan bercanda. Bahkan untuk duduk di atas kursi dan meja makan yang bahannya terbuat dari kayu jati ini pun rasanya tak pantas. Seharusnya aku duduk di bawah. Mengurusi semua keperluanku sendiri. Karena aku orang yang gagal.

"Ini.. makanannya sudah siap, non." Bik Surti membawa semangkuk bubur ayam yang masih berkebul asapnya. Aroma semerbak rempah yang harum itu mulai menyeruak menggelitik indra penciumanku.

Aku terharu sekali. Bik Surti bahkan niat sekali menata makanan sedemikian rupa sehingga tampak seperti potret makanan di majalah.

"Maaf, ya Bik. Bik Surti jadi harus ngurusin saya." ucapku merasa tak enak hati. Seharusnya orang sepertiku tidak mendapat perlakuan se-spesial ini.

Luka di Balik Warna PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang