Hari pertama sekolah setelah tragedi itu tiba, dan Zidan merasa jantungnya berdegup kencang.
Meski beberapa bulan telah berlalu sejak ia tinggal bersama keluarga Salsa, kembali ke sekolah terasa seperti menghadapi dunia baru yang asing.
Suara bising anak-anak yang bermain dan bercanda di halaman sekolah membuatnya merasa terasing, seolah-olah ia adalah pengamat yang tidak diundang.
Salsa berjalan di sampingnya, menawari senyum yang hangat.
“Ayo, Zidan! Kita bisa bertemu teman-teman kita!” katanya dengan semangat.
Meski semangatnya menular, Zidan masih merasa berat. Ingatannya akan kehilangan orang tuanya kembali menggerogoti hatinya.
Saat mereka melangkah ke dalam kelas, Zidan melihat teman-teman sekelasnya yang sudah berkumpul. Beberapa dari mereka menyapanya dengan ramah, tetapi Zidan merasa sulit untuk terhubung.
Ia hanya bisa tersenyum kecil, sementara pikirannya berkecamuk. Bagaimana ia bisa bersenang-senang ketika kenangan buruk terus menghantuinya?
Di sudut kelas, Salsa sudah berbincang-bincang dengan teman-teman mereka. Ia terlihat ceria dan bersemangat, seolah-olah semua beban di pundaknya tidak ada.
Zidan merasa sedikit lega melihatnya, tetapi rasa cemburu muncul dalam dirinya. Kenapa ia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama?
Pelajaran dimulai, dan Zidan mencoba berkonsentrasi. Namun, pikirannya melayang-layang, kembali ke kenangan yang menyakitkan.
Ia berusaha keras untuk tidak terjebak dalam kenangan kelam itu, tetapi semakin ia berusaha, semakin sulit untuk melupakan.
“Zidan, kamu baik-baik saja?” tanya seorang teman sekelas, menghentikan lamunan Zidan.
Wajahnya penuh perhatian, dan Zidan merasa sedikit tersentuh. Meskipun ia merasa terasing, ada orang-orang di sekelilingnya yang peduli.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Zidan dengan suara pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Dia berharap dapat mengabaikan rasa sakit yang terus membayangi.
Setelah pelajaran pertama, Salsa mengajaknya ke kantin.
“Ayo, kita makan siang bersama! Ini saatnya bersenang-senang!” ajaknya dengan senyum lebar.
Zidan mengangguk, mengikuti langkahnya meskipun keraguan masih ada dalam hatinya.
Di kantin, Salsa memilih meja di dekat jendela. Mereka duduk bersama teman-teman lainnya, dan perlahan suasana mulai mencair.
Zidan mendengarkan cerita-cerita lucu dan tawa yang mengisi udara. Meskipun hatinya masih berat, dia merasakan sedikit kehangatan dari kebersamaan itu.
Ketika waktu istirahat tiba, Salsa mengajaknya bermain di lapangan.
“Ayo, Zidan! Kita main bola!” teriak Salsa, melompat kegirangan.
Zidan melihat sekeliling, merasa sedikit tertekan oleh kerumunan anak-anak yang berlarian. Namun, tatapan penuh harapan Salsa membuatnya berani melangkah maju.
Mereka bermain bola dengan penuh semangat. Zidan mulai merasakan senyuman di wajahnya.
Ia berlari, berusaha mengejar bola, dan saat ia menendangnya, tawa Salsa mengisi telinganya. Untuk pertama kalinya setelah tragedi,
Zidan merasakan sedikit kebebasan dari beban emosionalnya. Meski rasa sakitnya belum sepenuhnya hilang, momen-momen kecil ini memberi secercah harapan.
Namun, saat permainan berakhir dan semua kembali ke kelas, Zidan merasakan kekosongan itu kembali.
Suasana ceria di lapangan seolah-olah menghilang begitu saja, digantikan oleh rasa kesepian yang mendalam. Ia berusaha mengabaikannya, tetapi saat bel berbunyi, ia merasa seolah dunia kembali runtuh di sekelilingnya.
Selama pelajaran berikutnya, Zidan merasa gelisah. Dia tidak bisa berkonsentrasi, pikirannya kembali teringat akan wajah orang tuanya.
Ketika bel berbunyi tanda akhir hari, ia merasa kelegaan sekaligus kesedihan. Ia ingin pulang, tetapi perasaannya masih bertentangan.
Setibanya di rumah, Zidan langsung berlari ke kamarnya. Dia terjatuh di atas ranjang, mengingat kembali saat-saat bahagia bersama orang tuanya.
Air matanya mengalir tanpa bisa ia bendung, menambah rasa sakit yang menggerogoti jiwanya.
Namun, saat dia tenggelam dalam kesedihan, pintu kamarnya terbuka. Salsa masuk dengan hati-hati, melihat Zidan dengan tatapan penuh perhatian.
“Zidan, kamu tidak sendirian. Kami di sini selalu ” katanya lembut, mendekat dan duduk di sampingnya.
Zidan menghapus air matanya, merasa sedikit canggung.
“Aku hanya merasa kesepian,” ungkapnya, suaranya tersendat.
“Aku tau. Semua pasti sulit. Tapi ingat, kita bisa melaluinya bersama. Kita punya satu sama lain,” ujar Salsa, menggenggam tangan Zidan dengan erat.
Zidan merasa hangat dengan kehadiran Salsa. Dia tahu bahwa meskipun perjalanan ini panjang dan penuh tantangan, ia tidak sendirian.
Dalam kesedihan dan keputusasaannya, Salsa dan keluarganya adalah bintang kecil yang bersinar di kegelapan, memberi harapan untuk hari-hari yang lebih baik.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Atas Reruntuhan
Short StorySetelah menyaksikan pembunuhan tragis orang tuanya, Zidan, seorang anak berusia sepuluh tahun, mengalami amnesia disosiatif yang membuatnya melupakan segalanya. Dihampiri oleh trauma mendalam, dia diasuh oleh keluarga Salsa, sahabat masa kecilnya...