Enam tahun telah berlalu sejak hari-hari kelam yang menghantui Zidan.
Kini, ia dan Salsa telah beranjak remaja, berusia enam belas tahun. Meski masa lalu masih membayangi, mereka telah belajar untuk menghadapinya bersama.
Setiap pagi, Zidan mengawali harinya dengan menatap langit yang cerah, berharap sinar matahari akan mengusir kabut di dalam hatinya.
Sekolah menengah yang mereka masuki kini terasa lebih hidup. Suara tawa teman-teman dan deru langkah kaki di lorong-lorong menjadikan sekolah tempat yang penuh warna.
Zidan duduk di bangku belakang di kelas, memandangi teman-temannya yang bercanda, sedangkan Salsa duduk di sebelahnya, tersenyum dengan ceria.
Namun, meski dia berada di tengah keramaian, Zidan merasa terasing, seolah ia masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.
"Zidan, kamu dengar nggak?" Salsa tiba-tiba menyentuh lengan Zidan, membawanya kembali ke realita.
"minggu depan ada perlombaan seni! Kita harus ikut!"
Zidan memandang Salsa, yang matanya berbinar penuh semangat. Dia ingat betapa Salsa selalu berusaha mengajaknya untuk terlibat dalam kegiatan yang menyenangkan.
"Aku nggak tahu, Sal. Mungkin aku tidak sebaik itu," jawab Zidan pelan, merendahkan harapannya.
"Jangan bilang gitu! Kamu bisa, Zidan. Kita bisa berlatih bareng. Lagipula, ini kesempatan kita untuk menunjukkan apa yang bisa kita lakukan!"
Suara Salsa begitu meyakinkan, dan Zidan merasa hatinya bergetar mendengar keyakinan di suaranya.
Setelah kelas selesai, mereka berdua berjalan ke taman sekolah. Suara angin berbisik lembut di antara daun-daun, dan burung-burung berkicau riang di atas dahan.
Salsa membawa sketsa dan cat air, ingin menunjukkan betapa menyenangkannya menciptakan seni bersama.
"Lihat! Aku sudah menggambar beberapa sketsa untuk perlombaan nanti. Bagaimana menurutmu?" Salsa membuka bukunya, memperlihatkan gambar-gambar penuh warna yang hidup.
Zidan terpesona melihat betapa berbakatnya Salsa.
"Kamu luar biasa, Sal," ujarnya tulus, meski hatinya masih ragu untuk mencoba.
"Coba deh, Zidan. Lihat langit itu, warnanya indah banget! Kita bisa menggambarnya!" Salsa memandangnya penuh harap.
"Kamu hanya perlu mencoba. Tidak ada yang perlu ditakuti."
Zidan mengangguk, tapi ada rasa cemas yang menyelinap dalam dirinya.
Kenangan kelam itu, meski samar, masih mengintai di sudut pikirannya. Ia mengingat betapa mudahnya dunia berbalik dan menghancurkan segalanya.
Mereka berdua mulai menggambar. Salsa menciptakan keindahan dengan warna-warni ceria, sedangkan Zidan melukis dengan nada yang lebih gelap, mencerminkan perasaannya yang mendalam.
Suara pensil dan kuas menyentuh kertas menjadi musik di telinga mereka, seolah menggambarkan perjalanan yang mereka lalui.
Saat sore menjelang, Zidan melihat Salsa yang begitu bersemangat.
"Kamu tahu, Zidan," katanya sambil tersenyum, "aku percaya, kita bisa mewujudkan impian kita. Meskipun kadang rasanya berat, tapi kita harus berani!"
Zidan terdiam, merenungkan kata-kata Salsa. Harapan itu seakan menembus kabut di dalam dirinya. Dalam sekejap, ia merasakan dorongan untuk berjuang melawan ketakutan yang mengikatnya.
"Oke, aku akan mencobanya," jawab Zidan akhirnya, rasa percaya diri mulai merayap ke dalam hatinya.
----
Hari perlombaan seni pun tiba. Ruang kelas diubah menjadi galeri sementara, dikelilingi oleh lukisan-lukisan dari teman-teman mereka.
Suara kerumunan yang bersemangat memenuhi udara, membuat Zidan merasa gugup. Di sudut galeri, Salsa terus membesarkan hati Zidan.
"Kita sudah berlatih, Zidan. Kini saatnya menunjukkan apa yang kita miliki!"
Zidan melihat karya-karya mereka dipajang. Lukisan Salsa memancarkan cahaya, sementara karyanya sendiri tampak lebih gelap, mencerminkan emosinya yang mendalam.
Hatinya berdebar-debar ketika mereka berdua berdiri di depan karya mereka, merasakan campuran antara bangga dan cemas.
Akhirnya, juri mengumumkan pemenang. Zidan dan Salsa berdiri berdekatan, menunggu dengan harap dan cemas.
Ketika nama mereka disebut sebagai pemenang, Zidan merasa dunia seolah terhenti sejenak. Teriakan kegembiraan dari teman-teman dan pelukan hangat dari Salsa membawa kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Lihat, Zidan! Kita berhasil!" Salsa melompat kegirangan, wajahnya bersinar cerah.
"Kamu lihat? Kita bisa melakukannya bersama!"
Zidan tersenyum lebar, untuk pertama kalinya merasakan semangat yang mengalir dalam dirinya.
Ia menyadari bahwa meskipun masa lalu tidak bisa dihapus, masa depan masih penuh dengan kemungkinan. Bersama Salsa, ia merasakan kekuatan untuk melangkah maju, mengatasi rasa sakit dan ketakutan.
Malam itu, ketika mereka pulang, Zidan menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam.
"Sal, terima kasih telah bersamaku. Aku merasa lebih kuat bersamamu," ujarnya tulus.
"huum, Zidan kamu tau, kita akan terus melangkah maju, tidak peduli apa pun yang terjadi," jawab Salsa dengan senyum hangat.
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Atas Reruntuhan
Cerita PendekSetelah menyaksikan pembunuhan tragis orang tuanya, Zidan, seorang anak berusia sepuluh tahun, mengalami amnesia disosiatif yang membuatnya melupakan segalanya. Dihampiri oleh trauma mendalam, dia diasuh oleh keluarga Salsa, sahabat masa kecilnya...