Senja menyelimuti langit dengan warna jingga keemasan, memantulkan semburat hangat di atas lautan yang tenang.
Pantai kecil yang terpencil itu begitu damai, diiringi musik alam dari deburan ombak yang lembut menghampiri tepian. Burung-burung camar melintas, bersahutan di kejauhan, dan angin pantai bertiup pelan membawa aroma asin laut yang menyegarkan.
Di hari itu, alam seolah ikut merayakan momen spesial bagi Zidan, seorang anak laki-laki yang penuh semangat dan mimpi.
Di tepi pantai, sebuah meja kecil dihiasi kue ulang tahun sederhana dengan lilin-lilin kecil yang menyala di atasnya.
Di sana berdiri Zidan, mengenakan baju berwarna cerah, dengan senyum lebar yang terpancar dari wajah polosnya. Usianya baru saja genap sepuluh tahun, dan bagi Zidan, ulang tahun itu terasa istimewa, seperti sebuah pintu menuju petualangan baru dalam hidupnya.
Di sampingnya, kedua orang tuanya berdiri, tersenyum penuh kasih, memperhatikannya dengan mata yang berkilauan oleh kebahagiaan.
“Zidan, buat permohonan dulu sebelum tiup lilinnya,” ujar ibunya lembut, suaranya menenangkan seperti belaian angin yang lembut.
Zidan menutup mata, mengatupkan kedua tangannya, dan di dalam hati ia memohon agar kebahagiaan ini bisa berlangsung selamanya. Setelah membuat permohonan, ia meniup lilin-lilin itu dengan semangat, dan sorakan gembira terdengar dari kedua orang tuanya.
Detik itu terasa abadi, seolah-olah dunia hanya milik mereka bertiga. Zidan tertawa kecil, melirik kedua orang tuanya yang tertawa bersamanya, menikmati kebahagiaan yang mereka bagi. Ia merasa begitu aman, terlindungi, dan dicintai.
Namun, di balik suasana hangat itu, sesuatu yang gelap mendekat, mengintai mereka dengan niat yang tak terduga.
Langkah-langkah berat terdengar samar dari arah belakang mereka, perlahan-lahan menjadi semakin jelas. Zidan, yang masih sibuk dengan canda tawanya, tiba-tiba merasakan hawa aneh, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia menoleh dan melihat sosok bayangan tinggi berdiri tak jauh dari mereka. Sosok itu mengenakan jubah hitam dengan wajah yang sebagian besar tersembunyi di balik topi besar, membuat Zidan tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas.
Namun, sorot mata dingin dari balik bayangan itu cukup untuk membuat hatinya terasa tercekat.
“Ayah… ada orang di sana,” bisik Zidan pelan, suaranya bergetar.
Kedua orang tuanya menoleh, wajah mereka berubah serius. Ayah Zidan segera berdiri di depan anaknya, melindunginya dari sosok tak dikenal itu.
Ada perasaan waspada dalam tatapan mereka, namun belum sempat mereka bereaksi lebih jauh, sosok itu bergerak cepat, mengeluarkan sebuah senjata tajam yang berkilauan di bawah sinar senja.
Hanya dalam hitungan detik, ketenangan pantai itu berubah menjadi mimpi buruk.
Zidan menyaksikan semuanya terjadi dengan mata membelalak. Dalam gerakan yang begitu cepat, kedua orang tuanya jatuh terkapar di atas pasir, darah mengalir membasahi hamparan pasir putih yang seketika berubah menjadi merah.
Mata mereka yang dulu penuh kehangatan kini menatap kosong, tanpa nyawa. Tubuh Zidan membeku di tempatnya, seolah jiwanya ikut tersedot dalam pusaran kehancuran yang baru saja menimpa hidupnya.
Detik-detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Ia ingin berteriak, ingin berlari, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan, suaranya hilang entah ke mana.
Ia hanya bisa berdiri, membeku dalam ketakutan, sementara sosok itu perlahan-lahan menjauh, meninggalkannya dalam kehampaan yang mencekam. Tak ada lagi suara tawa, tak ada lagi kata-kata hangat. Yang tersisa hanya angin pantai yang dingin, mengembuskan aroma darah yang tak bisa ia lupakan.
Zidan akhirnya jatuh berlutut di pasir, menatap kosong ke arah tubuh kedua orang tuanya yang tak lagi bergerak.
Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Dunia yang tadi begitu sempurna seolah runtuh di hadapannya, meninggalkan kehancuran yang terlalu sulit untuk ia pahami.
Anak kecil itu hanya bisa berbisik pelan dalam hatinya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir, berharap ketika ia membuka mata, ia akan kembali mendengar suara tawa yang hangat itu lagi.
Namun, tak ada yang berubah. Pantai itu sunyi, kecuali suara ombak yang berdebur pelan, seolah menyanyikan lagu duka untuk tragedi yang baru saja terjadi. Zidan menggigil dalam kesunyian, sendirian di tengah kegelapan yang kini menyelimuti hidupnya.
Dan di situlah, di tepi pantai yang kini menjadi saksi bisu tragedi, sebuah kenangan yang dulunya penuh cinta dan kebahagiaan hancur berkeping-keping, meninggalkan jejak luka yang akan selalu membekas dalam ingatan Zidan, meski ia tak lagi mampu mengenangnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Atas Reruntuhan
Kısa HikayeSetelah menyaksikan pembunuhan tragis orang tuanya, Zidan, seorang anak berusia sepuluh tahun, mengalami amnesia disosiatif yang membuatnya melupakan segalanya. Dihampiri oleh trauma mendalam, dia diasuh oleh keluarga Salsa, sahabat masa kecilnya...