Sering terlintas dipikiran gadis cantik tersebut. Bagiamana hidupnya jika sang ayah masih hidup? Akankah hal menyedihkan seperti ini akan terjadi padanya? Kini gadis tersebut tengah menangis menatap sepatunya yang tergantung di atas tangki air di rooftop sekolahnya. Sepatunya bahkan sudah terlihat sangat tidak layak pakai, bagaimana tidak? Sepatu itulah pemberian terakhir dari sang ayah sebelum meninggal. Setelah ayahnya meninggal, jangankan sepatu, dia bahkan hanya mendapat makanan sisa dari kedua saudara tirinya.
Tangisan Arabella pecah, rooftop sepi tersebut menjadi tempat ternyamannya meluapkan semua emosi yang selama ini menumpuk. Tidak ada seorangpun disini. Bahkan anak-anak yang selalu mengganggunya sudah berlalu saat melihat gadis tersebut terduduk tidak berdaya. Tawa melengking mengiringi kepergian mereka, meninggalkan Arabella dengan segala lukanya.
"Kenapa ayah harus pergi!?" Gerutu gadis tersebut meluapkan segala emosinya.
"Berisik banget sih lo!" Suara tersebut berhasil membuat Arabella menghentikan tangisannya. Dengan wajah berlinang air mata dirinya menoleh ke sumber suara. Suara yang datang dari setumpukan bangku dan meja rusak yang sengaja disusun rapi di balik tembok.
Seperti layaknya dongeng yang dibacakan sang ibu, seorang laki-laki tampan bak pangeran terbangun dari tumpukan meja dan menghampirinya.
"Lo si peringkat pertama itu kan?" Tanyanya dengan wajah tidak ramah. Seketika Arabella tersadar, di dunia ini tidak akan ada pangeran berkuda putih seperti dongeng Cinderella. Laki-laki yang kini berdiri dihadapannya terlihat sangat menakutkan dengan baju yang berantakan.
"Jangan deket-deket!" Ucapnya memundurkan diri setelah laki-laki tersebut melangkah mendekatinya.
"Asli! Lo pikir gue apaan?" Laki-laki tersebut berjalan melewati gadis tersebut dan berjalan mendekati tangki air dan mulai memanjatnya. Dengan hati-hati laki-laki tersebut mengambil sepatu milik Arabella dan kembali berjalan mendekati gadis tersebut.
"Punya lo?" Arabella hanya menganggukkan kepalanya, matanya bahkan tidak berani menatap kedua mata mengerikan tersebut.
"Gue Harka dari kelas 10—3." Perkenalan diri tersebut berhasil membuat Arabella menatap kedua manik laki-laki yang ditakutinya.
"Arabella kelas 10—1." Lirihnya.
"Hah? Siapa? Ngomong yang jelas dong!"
"Gue Arabella kelas 10—1." Harka tersenyum dan mengulurkan sepatu lusuh milik Arabella.
"Sepatu lo udah lusuh banget, kenapa ga beli baru?" Tanyanya dengan lembut. Di luar dugaan, laki-laki dengan gaya berandalan ini ternyata memiliki sisi lembut. Tanpa sadar hati Arabella berdegup. Pantaskah dia merasakan hal ini? Tanyanya dalam hati.
"Gue bisa sekolah aja udah syukur."
"Sorry kalau pertanyaan gue nyinggung lo."
"Ga masalah."
"Lo ga penasaran kenapa gue ada disini?" Tanya Harka menatap Arabella yang kini tengah memasang sepatu lusuh-nya.
"Harus banget gue penasaran?"
"Gue denger semuanya. Lo dibully?" Pertanyaan yang cukup sensitif untuk Arabella. Gadis tersebut menghentikan aktivitasnya dan menatap lekat ke arah Harka.
"Bukan urusan lo." Ketus Arabella dan berdiri dari posisinya.
"Lo dibully kan? Gue denger lo nangis." Tanpa menjawab pertanyaan laki-laki tersebut Arabella pergi meninggalkannya. Tidak menyerah, Harka mengikutinya dari belakang. Tentunya dengan berbagai pertanyaan yang cukup mengganggu Arabella. Namun sialnya, dari lubuk hatinya merasakan kesenangan yang selama ini tidak pernah ia rasakan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in School
Teen FictionBanyak orang bilang cantik itu luka dan jelek adalah kutukan. Lalu bagaimana dengan terlahir di keluarga miskin? Arabella Alora Aeris yang sering disapa Arabella adalah seorang gadis yang tumbuh dengan paras yang cantik. Namun, apa semua itu menjami...