05

153 16 4
                                    

HAHA INI UDAH BERAPA LAMA YA? Maaf....begitu tidak konsisten...😭🙏 gatau deh ya masih ada yang baca apa gak...

Aku terbangun dengan kepala berat, seluruh tubuhku terasa kaku. Pandanganku masih buram, namun aku bisa merasakan dinginnya lantai beton yang keras di bawahku. Perlahan, kesadaran mulai kembali, dan samar-samar terdengar suara percakapan di kejauhan.

Saat mencoba bangun, aku merasakan rasa sakit yang tajam di leherku. Tangan gemetar meraba-raba leher, masih terasa bekas cekikan Rindou. Bajingan itu. Aku merutuk dalam hati. Di mana aku sekarang? Pandanganku mulai jelas, dan aku melihat ruangan yang sama, lembab dan gelap. Rita masih terbaring di sudut, tidak bergerak.

"Ibu..." bisikku serak, mencoba mendekatinya. Namun, sebelum aku sempat menyentuhnya, suara langkah kaki mendekat dari arah pintu. Pintu terbuka perlahan, dan cahaya dari lorong menyilaukan mataku.

Sanzu masuk, senyumnya mengerikan seperti biasa, membawa sebuah nampan kecil dengan beberapa peralatan di atasnya. "Oh, kau sudah bangun," katanya ringan, seolah-olah kami hanya bertemu di sebuah kafe.

Aku mundur, menatapnya dengan waspada. "Apa yang kau inginkan?"

Sanzu mendekatkan wajahnya, tampak menikmati ketakutanku. "Bukan aku yang menginginkan sesuatu. Mikey yang ingin bicara denganmu."

Jantungku berdegup kencang mendengar namanya. Mikey. Apa lagi yang diinginkan tentang Sakura ariku? Apakah ini ang informasi yang selama ini kupegang? Atau lebih buruk lagi... apa dia tahu rencana kaburku?

Sanzu meraih pergelangan tanganku dengan kasar, menarikku berdiri. Aku menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menjalar dari leher ke seluruh tubuhku. Aku tidak akan memperlihatkan kelemahan di depan mereka. Tidak lagi.

Dia menyeretku keluar dari ruang bawah tanah, menuju ke sebuah ruangan yang lebih luas. Ruangan ini adalah salah satu ruangan mewah di mansion Mikey, tempat di mana dia biasanya mengatur strategi bersama anak buahnya.

Di sana, Mikey sudah menunggu. Duduk dengan santai di sofa kulit hitam, kakinya terangkat ke meja, sementara dia bermain-main dengan pisau kecil di tangannya. Di sebelahnya, Sakura duduk manis, tersenyum lebar saat melihatku masuk.

"Ah, kau sudah datang," katanya lembut, tapi aku bisa merasakan nada mengejek di balik suaranya.

Aku tidak menjawab, hanya berdiri tegak meski tubuhku masih bergetar. Mikey mengangkat pandangannya perlahan, tatapan kosongnya menusukku seperti biasa. Dia menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Aku punya kabar untukmu, [Name]."

Hatiku mencelos. Apa yang akan dia katakan?

Mikey menurunkan kakinya dari meja dan bangkit berdiri, mendekatiku dengan langkah tenang. "Kau sudah terlalu lama menjadi 'penonton' dalam drama ini," katanya, nadanya pelan tapi berbahaya. "Sudah waktunya kau memilih sisi."

Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. "Apa maksudmu?"

Mikey menyeringai, dan tanpa peringatan, dia meraih daguku, memaksaku menatap matanya yang gelap. "Aku ingin kau membuktikan kesetiaanmu, [Name]."

Aku menahan napas, tak berani bergerak.

"Jika kau benar-benar setia padaku, ada satu hal yang harus kau lakukan." Mikey melepaskan cengkeramannya dan berjalan ke arah meja, mengambil sesuatu dari laci. Sebuah pistol.

Dia kembali mendekat dan meletakkan pistol itu di tanganku. Tangan gemetarku hampir menjatuhkannya, namun aku berhasil menahan diri. "Apa yang kau inginkan?"

Mikey tersenyum dingin. "Bunuh Rita."

Dunia seakan berhenti. Pikiranku kosong, dan aku hanya bisa menatapnya, berharap dia bercanda. Tapi tatapannya tidak berubah. "Bunuh dia, dan buktikan bahwa kau bukan musuh."

Aku menoleh ke arah Rita yang masih terbaring tak berdaya. Dia satu-satunya orang yang selalu mendukungku. Satu-satunya yang peduli padaku di tengah kekacauan ini.

"Tidak," bisikku, hampir tak terdengar.

Mikey mendekatkan wajahnya, suaranya kini lebih rendah dan mengancam. "Kau tahu konsekuensinya jika menolak, bukan?"

Air mataku menggenang, tapi aku tidak membiarkannya jatuh. "Aku... aku tidak bisa," suaraku bergetar.

Sanzu mendekat, menatapku dengan tatapan antusias. "Ayo, [Name]. Ini mudah. Kau hanya perlu menarik pelatuknya." Dia tertawa kecil, seolah-olah ini hanya sebuah permainan.

Aku menatap pistol di tanganku, lalu ke arah Mikey. "Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku lirih.

Mikey hanya menatapku dingin. "Kau harus memilih, [Name]. Antara dia... atau kau."

Aku menggigit bibir hingga berdarah, rasa putus asa membanjiri dadaku. Apa yang harus kulakukan? Jika aku menolak, Mikey tidak akan segan membunuhku-atau lebih buruk lagi, menyiksa Rita di depanku. Tapi jika aku melakukannya... aku akan kehilangan diriku selamanya.

Tangan gemetarku mengangkat pistol itu, menargetkannya ke arah Rita. Aku bisa mendengar detak jantungku di telinga. "Maafkan aku, Ibu..." bisikku, air mata akhirnya jatuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Woman [Bonten x reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang