Ultimatum

9 0 0
                                    

"Ketika perang dunia kedua berkecamuk, berbagai front memberikan ultimatum, antar satu sama lain. Dengan berbagai bentuk ancaman atau rayuan, ultimatum itu, bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja.

Gejolak peperangan yang semakin menjadi-jadi, korban nyawa yang semakin berjatuhan, dan pada puncaknya, sekelompok burung besi pemberani menjatuhkan dirinya ke hamparan baja yang mengapung di pesisir pelabuhan.

Darah mengalir bercmpur di atas air laut, dengan ketamakan yang dalam, semua besi tua itu tenggelam bersama, menuju dasar lautan. semuanya berakhir, dengan dentuman ledakan besar, tepat di pulau teluk, tempat matahari terbit, sebuah dentuman yang mengakhiri perang dunia yang kedua "

***


21 April

Langit siang itu berkambung, terlihat suram , seakan langit masih menangis akan suatu hal. Tanpa ada tanda hujan, semua di pagi ini terlihat muram. Seperti biasa, perjalanan ke kampus menggunakan bus dalam kota, dengan kursi dan dudukan yang masih sama dengan kemarin.

Wajahnya tetap terlihat dingin, dan tak berona. Mungkin pada titik ini, rasa yang sebelumnya mulai hadir, kini memudar lagi. Sebelumnya, Will mulai bisa memahami apa yang dia rasakan, namun kejadian malam tadi, mengubah semua kembali ke awal.

Hujan semalam memang telah mengering dari tubuh WIll, tapi matanya masih terlihat lebam bakas hujan! semalam. Lucunya, semua perasaan yang menerpa Will, sangat bertolak belakang dalam hari kemarin. Seperti juga cuaca, Kemarin penuh amarah dan cuaca yang panas, hari ini dia berkambung dan cuaca mendung, seakan dunia sedang mempermainkan hidup Willian.

Bus Will tiba di pemberhentian, dekat dengan area kampus. Dalam perjalanannyap;; , Will mulai memilih berbagai lagu untuk menyusun playlist, sejenak ingin menoleh, dan dia melihat Anasta yang menuju ke kampus, dengan seorang pria, yang tentunya tidak dia kenali. Berboncengan, dengan helm yang terlihat identik mereka kenakan. Rasa sesak malam tadi, kini terasa kembali.

Willian berhenti sejenak, pikirannya tiba-tiba bising, dia kebingungan. gemuruh riuh, menerpa pikirannya, padahal faktanya, ia sendiri tak paham apa yang terjadi atau apa yang ia rasakan. Di titik ini, Wilian merasa enggan untuk masuk ke kampus hari ini. Tak berani melangkah sejengkalpun, Will memutuskan untuk pulang.

Willian, seorang pria yang beranjak dewasa, dengan ratusan permasalahan dalam hidupnya, setidaknya dalam kepalanya, mengambil keputusan seperti seorang remaja yang patah hati karena permasalahan pada cinta pertama mereka. Will memilih untuk melangkah ke halte, menunggu bus yang akan mengantarnya kembali.

Bus tiba, setelah 15 menit menunggu, Will menaiki bus, dan membawa menuju tujuan selanjutnya. Hanya bunyi mesin bus, dan terpaan angin pada kaca bus yang terdengar. Klakson kendaraan di perimpangan jalan, semua suara itu jadi lantunan merdu yang menggema di hatinya.

Mungkin benar kata orang, patah hati paling berkesan, kadang adalah patah hati yang kita sendiri tak pernah sadari. Itu yang kurang lebih dirasakan Will saat ini, fisik dan tubuh pria yang prima menjelang dewasa, kini harus menunduk karena luka yang dirasakan pada hatinya, yaitu cemburu, dan kini merasa kehilangan akan perempuan yang spesial dalam hidupnya.

Bus berhenti di suatu persimpangan karena lampu lalu lintas, terlihat beberapa pengendara juga berhenti.  Mata Will yang perlahan berair, tertuju pada anak kecil, yang sedang diboceng oleh ayahnya. Kebersama anak dan ayah itu membuat Will tertegun dan diam.

"Mungkin ini lelah karena kau terus sendiri, kelihatannya kaj benar-benar perlu teman" seketika gumaman dari suara Anastasya, memekikan kepalanya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang