"Willian Griffin"Begitu nama lengkapnya. Dia adalah seorang manusia yang memandang dunia dengan berbeda, jalan hidupnya terlihat berbeda dengan orang lain karena rasa menolak sama, dia hadir untuk menjadi berbeda, dia benci untuk disamakan, benci untuk dianggap mirip, itulah dia Willian Griffin.
Dia adalah seorang mahasiswa apatis, apatis? Mungkin saja,
tapi yang jelas dia tak perduli akan urusan orang lain, dan dia benci jika ada orang yang penasaran akan urusan atau hidupnya. Hidupnya terlihat biasa saja dan bahkan terlalu biasa, masuk kampus, pulang, belajar, makan, dan tidur, dan tak lebih dari itu. Hanya saja ada sesuatu yang berbeda darinya dengan orang-orang yang lain.Willian Griffin, manusia yang memiliki pandangan unik terhadap dunia dan kehidupan ini. Hidup terlihat begitu aneh di matanya, manusia hanya dia anggap sebagai hewan yang berakal, kenapa? Mungkin karena dia yakin bahwa setiap manusia hanya memikirkan tentang kerakusan mereka dalam mendapatkan materi agar mendapatkan kepuasaan dan terlihat memiliki strata yang lebih tinggi di pandangan orang yang lain.
***
19 Februari
Hari ini kegundahan menyelimuti kalbu dari Willian, entah kenapa kakinya berat untuk melangkah keluar dari kamarnya, bahkan timbul perasaan enggan turun dari tempat tidurnya. Dengan berat hati dia mulai untuk mengumpulkan keinginan agar berangkat ke kampus.
Dalam perjalanan yang berlalu sekitar 30 menit dia tak lupa mendengarkan instrumen piano dari Jurrivh. Setiap lentingan nada dalam balada instrumen yang menyentuh itu membuat pikiran Willian seakan lupa akan betapa bodoh dan kejam nya dunia ini.
Sejenak hembusan napas yang membawa kegundahan, diri willian keluar dengan lembut dari sela bibir yang terbuka, dengan ekspresi lega yang terlukis dari wajahnya. Willian memandang ke arah pemandangan di sepanjang perjalanan menuju ke kampus nya. Rindang nya pohon dan ramai nya orang yang lalu lalang seakan menjadi senyap. Entah kenapa tanpa aba-aba senyum mengalir mengiring dengan ketenangan dari instrumen yang dia dengarkan.
Sesampainya dia di kampus, headset tak terlepas dari telinganya baik saat berjalan dari tempat parkir sampai ke kelas pun dia tetap menggunakannya. Begitu masuk ke kelas, suara yang sangat keras menggema di kelas memanggil namanya " willian, kamu terlambat" dengan acuh willian menanggapinya "terlambat? Dosen nya juga belum masuk kan ?"
"Iya" timpal suara yang menggema tadi sambil membalas pertanyaan Willian dengan nada suara yang lebih rendah dari sebelumnya. " Artinya aku tak terlambat, lagi pula formalitas dalam ketepatan waktu bukanlah penilaian optimal terhadap kemampuan intelejensi seseorang kan?"
Willian menambahkan dengan tenang tanpa menggambarkan sedikit pun ekspresi. " Iya memang benar sih, tapi apakah harus seserius itu?" Jawab dari orang yang bersuara itu, sambil menurunkan intonasi suaranya. Tanpa berkata-kata Willian pun berjalan meninggalkan orang yang menyambutnya dengan suara yang bergemuruh tadi. Willian bergumam
"Terkadang orang-orang terlalu sibuk memperhatikan kesalahan orang lain dan melupakan kesalahan nya sendiri, tapi aku tak akan seperti itu dan memilih beda bukan untuk menarik perhatian tapi agar sesuai dengan kebenaran yang masuk akal"
Sambil menggumamkan hal tersebut dalam angannya Willian berjalan lurus tak menggubris orang yang memanggilnya. Willian tetap berpura-pura tak mendengarkan panggilannya karena yakin bahwa orang yang memanggil nya pasti hanya ingin mendapatkan keuntungan darinya, mungkin ini terdengar menyedihkan tapi terkadang kesepian menjadi satu-satunya hal yang menemani Willian.
Bukan karena tak mampu bergaul tapi karena terlalu memaksakan akal untuk membaca tiap gestur yang dihadirkan oleh orang-orang disekelilingnya adalah hal yang sangat melelahkan. Pada akhirnya hanya kesepian yang memeluk Willian dalam kegelapan hidup nya yang memaksa logika untuk mekonstruksi hidup.
***"Dimana ini? Kelas? Aku pasti tertidur lagi" gumam Willian dalam benaknya. Mata nya sayu dan rasa kebingungan menyeliputinya, tak bisa berpikir jernih, lambat laun membuatnya tenggelam dalam ketenangan ruangan yang kosong. Hanya dia sendiri, angin menyibak tirai ruangan dengan perlahan, terdengar samar bunyi-bunyi pintu ruangan yang mulai dikunci.
Dia bangun dan beranjak dari tempat nya tertidur dan mulai berjalan menuju pintu. Sebelum membuka pintu, dia mendengar suara sekumpulan orang yang terasa tak asing baginya. Benar saja, suara tersebut berasal dari sekolompok perempuan yang merupakan teman sekelas Willian.
Dengan tenang dia membuka pintu kelas dan berjalan keluar dengan rasa yang mengganggu benaknya. Dia langsung memalingkan wajah agar gerombolan perempuan tersebut tidak melihatnya, namun.
"Lihat, itu Will anak kelas kita" Bisik salah seorang dari gerombolan tersebut. "dia cowok yang selalu menyendiri itu kan?" timpal perempuan yang lain.
Walau jarak nya lumayan jauh Willian dapat mendengar suara bisik mereka dengan jelas, dengan menarik nafas dalam, dia berjalan seakan tak memperdulikan bisikan mereka.
"semuanya sama saja tak pernah belajar memahami orang lain tapi selalu bersikap bak dewa yang mengetahui segalanya, mungkin mereka harus merasakan penderitaan orang lain barulah mereka bisa belajar tentang manusia."
Gumam Willian, sambil keluar kelas dan menuruni anak tangga.
Dalam perjalanan nya menuju tempat pemberhentian bus, dia terus memikirkan perkataan anak-anak perempuan tadi, bukan karena dia takut tak memiliki teman namun dia berpikir bagaimana caranya merubah pandangan orang-orang seperti mereka.
Belum sempat pemikiran nya mencapai kesimpulan, terdengar ada suara yang memanggil nya, suara yang lembut itu berasal dari perempuan berusia 20 tahun, yang berlari kecil sambil mengahampiri nya, Adinda Anastasya namanya.
"Will, kenapa kau baru pulang ? Bukannya mata kuliah mu sudah selesai dari tadi?" Timpal Adinda sambil memegang bahu Willian.
"Aku rasa itu bukan urusan mu" jawab Willian tanpa menoleh ke arah Adinda, " hmm, jutek banget, mungkin karena terlalu jutek makanya enggak ada teman kelas yang mau ngebangunin kamu saat kamu ketiduran di kelas" balas Adinda seraya tertawa lembut dan memiringkan leher melihat wajah Willian.
Willian yang kaget akan balasan Adinda hanya memalingkan wajah dan menghindari kontak mata dengan Adinda.
Melihat Willian yang terlihat semakin jutek Adinda semakin tak bisa menaham tawanya "Hahaha, Will kamu terkadang terlihat lucu, walau kamu begitu cuek, aku yakin kok aku bisa buat kamu berubah" sambil tersenyum melihat ke arah Willian.
Semakin lama berbincang dengan Adinda, Willian merasa semakin jengkel, entah karena terganggu akan kata-kata Adinda, atau karna kaget akan perhatian Adinda kepadanya.
Belum semput Willian berbicara bus yang dia tunggu, akhirnya tiba. Willian tanpa mengucapkan apa-apa langsung masuk ke bus tanpa menghiraukan Adinda. Adinda yang terlihat kesal malah mengikuti Willian dan masuk ke bus.
Semakin lama Willian semakin jengkel akan tingkah adinda, namun dia tak bisa berbuat banyak, rasanya seperti dia memenjarakan emosi nya. Takut mengganggu penumpang bus yang lain, Willian hanya bisa menahan diri dan mendengarkan setiap kata-kata yang disampaikan Adinda.
Kesal? Tentu saja ...
Marah? Tak perlu ditanya ...
Namun, dia hanya bisa bersabar, karena dia tahu sekarang kehidupan normal nya akan tergangu."Adinda Anastasya, perempuan yang bahkan aku sendiri lupa bagaimana bisa dia mengenal ku, namun diaselalu mengganggu ku sejak pertama kita bertemu, entah dimana aku tak peduli dan tak ingin tahu lagi. saat ini dia mengganggu ku, merusak rutinitas ku, dan ingin merubah ku katanya. Mengesalkan aku membenci nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia
Teen FictionBerisi tentang pandangan terhadap manusia yang dilihat dari realita. Bukan untuk menghakimi tapi untuk mencurahkan pandangan.