5.

40 19 0
                                    

Disclaimer ©Masashi Kishimoto

***

(Hai, hai. Mungkin buat kalian yang baca cerita ini pasti syok ya?? Kenapa alurnya begini atau semua alur cerita ku yang gak jelas begini)

(Sebelumnya aku minta maaf, antara imajinasi aku yang berlebih atau kalimat per kalimatnya yang bisa dibilang kata katanya biasa atau wagu? Ini semua balik ke rencana ku)

(Untuk masalah cerita memang ini harusnya cerita yang ada Ninja ninja nya tapi disini malah menceritakan dia secara pribadi dan udah gitu ada yang 'aneh' dengan ini contohnya Piano, Biola atau apalah. Memang ada di Konoha? Wkwkwkwk... ya ini terlepas dari Imajinasi ku sih..)

(Masalah bahasa, bahasa aku santai bangett kayak kamu lagi buka Japri temen. Bukan kata-kata yang eeeh.. baku, susah, atau bahasanya Novel gitu. Emang ini bahasa aku... aku mau beda dari penulis yang lain. Ya mohon maaf aja kalau emang jelek atau wagu, ya itu emang bahasa aku)

(Biar santai walau ada Typo kadang. Gak menjamin EYD, dan semua cerita ku sama dengan tulisan dan imajinasi yang byarrr.... gitu)

(Gitu aja sih.. tapi aku sedih loh... kalian cuman baca tapi nggak komen, oke oke nggak papa kok yang penting vote ya.. itu tanda nya kamu menghargai aku sebagai seorang penulis ini)

***

"Aku ayah mu dan kau putraku"

"Terserah kau saja, paman Hendri"

Hyuga Neji, sebagai pengganti putranya yang tiada dan kini ia mengadopsi putra idola nya tersebut. Neji tumbuh sebagai anak yang jenius tetapi dingin sehingga yang membuat Hendri khawatir adalah teman teman nya yang tidak mau mendekatinya.

Kejeniusan nya itu menjadikan ia anak yang sombong tentu membuat Hendri berkali kali menesehatinya, dia bilang bahwa lemah itu sudah takdir dari lahir. Jenius sih memang Jenius tetap saja bodoh.

"Mana ada yang seperti itu" bantah Hendri, "takdir yang seperti itu masih bisa diubah kalau kau bekerja keras"

Itu bodoh, Hendri duduk di samping Neji sembari menyiapkan sarapan nya.

"Tapi kenyataan nya begitu"

"Karena kau tidak melihat hasil akhirnya, kau hanya melihat proses tanpa hasil"

Sarapan yang disajikan nya begitu sederhana, tapi dia tetap habis memakan nya walau dia pernah berkata bosan. Walau pria yang berada di hadapan nya mirip seperti mendiang ayahnya bukan berarti dia menganggap dirinya sebagai ayahnya.

Neji dan Hizashi Hendri begitu sangat bertolak belakang, Neji yang menurutnya seperti orang pada umumnya sebagai seorang Shinobi berambisi untuk menjadi kuat dan kuat berbeda dengan Hizashi Hendri yang bertolak belakang dengan cara pandangan orang-orang di sini.

Bukan berarti dia lemah, dia bisa membunuh orang dengan sesuka hati dengan mode kelam nya. Dia memang bukan orang yang terkuat tapi setidaknya dia bukan orang yang terlemah, cara pandang dan juga kegemaran berbeda.

Berlatih itu memang perlu dilakukan walau sudah kuat sekalipun, Hizashi Hendri tidak keberatan untuk melatih putra Idola nya itu sebagai rutinitas wajib.

Penilaian yang membuat ia intropeksi diri ketika anak itu berkata ia tidak sekuat ayahnya, Hizashi Hendri tidak kesinggung soal pendapatnya dan memang ia tidak sekuat ayahnya.

Sampai sini ia sadar, walau memang mirip dan harapan yang masih ada tetapi sesuatu yang pergi tidak akan pernah kembali. Neji dan dirinya tentu bertolak belakang.

Atau bisa dikatakan Hizashi dan mendiang putranya adalah orang orang spesial.

Hizashi Hendri POV.

Saya tidak akan memaksa Neji untuk memiliki keinginan yang sama seperti saya dan juga Hakirima. Memang tidak ada salahnya jika ia ingin berlatih hingga menjadikan dirinya untuk kuat, tidak salah kan? Tidak ada salahnya sama sekali.

Tapi hanya saja sesuatu yang saya rasakan jauh berbeda, sebagai orang yang menyukai seni musik saya merasa bahwa hampa saja. Tidak ada teman sesama penyuka musik selain mendiang anak saya termasuk Hiroshi pun.

Yang saya tahu hanya otak porno Novel Jiraiya atau bermabuk mabukan di klub malam. Bajingan memang.

Bermain Piano dengan musik musik klasik yang tidak akan dimengerti oleh nya, dulu ketika anak itu masih ceria guna mengobati rasa rindu saya pada Hakirima dia selalu datang menghampiri rumah ini.

Saat itu Neji kecil menjadi penyemangat saya ketika saya dalam hati yang hampa, Hizashi menjenguk dan berusaha memastikan agar saya tidak akan melakukan tindakan itu walau ia meninggal lebih dulu pada akhirnya.

"Paman hebat... musiknya bagus..."

Disitulah mata bulan dengan penuh kekosongan menatap anak itu, bibirnya tersenyum dan bertepuk tangan pelan di susul dengan ayahnya juga.

Menyanyikan lagu untuk Neji, twinkle, twinkle star seperti Hakirima yang menunjukkan bakatnya.

"Aku bisa memainkan lagu twinkle twinkle star lo.."

"Coba, aku mau denger.."

Suaranya, suara kecil yang menggemaskan. Saya mengingatnya.

Bahkan sampai saat ini, saya memainkan lagu itu tetapi begitu dia masuk menghampiri saya yang membuat jari jemari saya yang lihai bermain seketika terhenti.

"Bukankah itu lagu untuk anak-anak?"

Dia tidak mengerti bagaimana rasanya saya berkhayal, tidak salah dengan pertanyaan nya tetapi hanya saja dengan perasaan saya yang sensitif jadi perkataan itu saya masukan kedalam hati.

Memainkan lagu itu, saya sedang berkhayal dan mengingat bagaimana saya mengajari Hakirima dulu.

Ketika saya memergoki Hakirima yang sedang bermain asal not Piano yang membuat saya ingin mengajarinya. Saat itu usianya masih 2 tahun, sudah memiliki ketertarikan pada benda benda di sekitar.

Tapi saya tahu, itu hanya rasa penasaran dan rasa penasaran itu yang perlahan berubah menjadi rasa suka.

"Papa... ini apa?"

"Ini Do, Hakirima sayang... coba tekan not nya yang Papa tunjuk"

Teng.

"Do... re... mi... fa... so... la... si... do..."

Itu hanya kenangan manis yang masih tersimpan di memori begitu sangat rapih.

Saya menangis, jemari jemari saya memainkan not Piano dengan tak beraturan. Meluapkan segala emosi yang tertahan dengan melampiaskan musik, saya tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang ini.

Membuat musik sendiri, musik yang tidak beraturan.

Jemari mulai terhenti ketika anak itu memperhatikan saya yang seolah menggila. Saya malu, sebagai seorang pria terang terangan menunjukkan air mata pada sesama laki laki juga.

Menghapus air mata beserta jejak-jejaknya pula, berusaha tersenyum menatap nya.

"Makanan ada di atas Meja"

"Terimakasih"

Ya, terimakasih. Kami serasa seperti orang asing.

Kami bukan orang yang secara langsung berinteraksi dan terkadang untuk memulainya duluan sayalah yang akan memulai.

Dia hanya diam dan menyimak atau menjawab sekena nya saja. Tidak salah, saya tahu kalau dia memang anak yang 'dingin'

Sama seperti saya. Saya anak yang pendiam saat seumuran nya.

Hizashi (Hendri) [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang