Bagian satu, Pradipta Hadi

10 2 0
                                    

Ruangan sunyi itu kini terdengar cukup sibuk dengan ketukan jemari pada keyboard laptop. Wangi semerbak aroma terapi dari lilin terasa begitu menenangkan, bahkan rora—kucing putih betina yang begitu rewel itu kini berhenti mengeong dan berakhir tidur pulas akibat aroma lavender dari lilin itu.

Seorang pemuda kini begitu fokus dengan laptop di hadapannya, tangannya lincah mengetuk tiap huruf pada keyboard guna merangkai tiap kata jadi satu cerita penuh makna dengan sejuta rasa.

Pradipta Hadi. Pemuda itu, seorang penulis novel ternama dengan tema remaja. Beberapa judul bukunya sangat laris di pasaran, bahkan satu buku telah diabadikan menjadi film layar lebar.

Di usianya yang masih terbilang muda, tepatnya pada 21 tahun, Dipta telah menciptakan karya-karya yang selalu berhasil memuaskan pembacanya. Rangkaian kata dalam novel Dipta selalu indah, alur yang disajikan penuh makna walaupun mengambil tema remaja. Dipta selalu berhasil menyampaikan setiap pesan lewat alur-alur novelnya yang sederhana namun kaya akan makna.

Terlebih lagi, pembaca akan selalu puas dengan novel yang Dipta tulis, sebab pemuda itu akan selalu memberi akhir yang bahagia untuk seluruh karakter utamanya.

Serumit apapun alur, sejahat apapun tokoh antagonis yang bertentangan dengan karakter utama, Dipta selalu menghadirkan ending yang setara dengan perjuangan yang telah dilalui tokoh-tokohnya. Setiap tokoh dan perjalanan hidup mereka yang Dipta ciptakan menjadi terkesan hidup dan nyata, maka dengan semua kelebihan itu tidak heran jika Dipta menjadi penulis yang begitu ternama.

Miaw..

Rora mengeong kembali, kucing dengan ras ragamuffin berbulu putih berkilau itu kini melompat pada paha Dipta. Menggeliat dan mendusal di pangkuan sang tuan, untuk mencari perhatian.

Sukses, makhluk berbulu itu berhasil mengambil alih perhatian sang Tuan, “Kenapa Rora sayang, hmm?”

Miaw..

“Sebentar yaa, Dipta lagi kerja. Habis ini baru main sama Rora ya?” Dipta mengusap lembut bulu kucing itu, Rora hanya mengeong entah apa artinya. Yang pasti di mata Dipta itu terlihat sangat lucu, membuatnya tak henti tersenyum gemas.

Dipta menghela nafasnya, lalu beralih memeluk Rora dengan erat. Dalam hidupnya, Dipta bersyukur memiliki Rora yang selalu ada bersamanya.

Sejak lulus SMA dan merantau jauh dari rumah, Dipta selalu kesepian, selalu merasa tidak memiliki sandaran. Tapi semua itu hilang ketika ia bertemu Rora saat pulang kuliah waktu hujan lebat, dua tahun lalu. Seolah alam memang menakdirkan Rora untuk menemani hidupnya.

Miaww

Rora kembali mengeong, bersamaan dengan dering suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja. Dipta menengok pada siapa yang menghubunginya, pemuda itu langsung kehilangan senyum ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya.

Ibu.

“Ibu nelpon, Rora,”

Miaw..

Dipta tersenyum kecut saat Rora kembali mengeong, lalu dengan berat hati pemuda itu menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.

“Halo, Ibu.”

“Halo heh Dipta, kemarin ibu minta duit kenapa belum transfer sampai sekarang?!”

Dipta memejam sejenak, saat suara yang begitu nyaring menusuk telinganya, “Bu, baru dua hari aku transfer uangnya, masa sudah habis?”

“Heh kamu pikir duit segitu cukup buat hidup seminggu?! Nih liat bapak kamu sakit, adik kamu sekolah mahal, kamu pikir dapet duit dari mana lagi ibu kalo bukan dari kamu?!”

“Iya paham, tapi Dipta disini kan juga butuh simpanan Bu. Kalau semua Dipta transfer ke Ibu uangnya, terus disini Dipta hidup pakai apa?”

“Ya ibu gak peduli, itu kewajiban kamu menafkahi keluarga. Udah diurusin sampe gede, masa segitu aja ngeluh?! Anak macam apa kamu, Dipta?!”

Dipta memijat pangkal hidungnya sejenak, “Ini bukan soal uangnya Bu, tapi soal pengertian. Uang yang kemarin Dipta transfer itu cukup banyak, tolong hemat juga. Dipta kerja juga memang buat Ibu, tapi tolong kelola uangnya dengan baik. Dipta juga kan mau nabung Bu, lagian biaya rumah sakit bapak gak sebanyak itu, adik juga udah besar, udah lulus SMA harusnya bisa nyari tambahan sendiri.”

“Kamu jangan ceramahin Ibu ya Dipta! Tinggal transfer uang saja ribet kamu!”

“Maaf Bu, Dipta belum bisa. Uang Dipta juga udah tipis Bu, masih harus nunggu royalti.”

“HALAH DASAR ANAK TOLOL, ORANG TUA MINTA UANG SAJA PELIT. MAU JADI APA KAMU?! DASAR ANAK BIADAB!”

Telepon itu putus begitu saja setelah makian itu terlontar. Dipta hanya menghela nafasnya pelan, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Jujur saja Dipta lelah dan kewalahan.

Dipta paham sebagai anak tertua dari keluarga kecil dengan orang tua dan dua anak, maka Dipta memiliki tanggungjawab yang cukup berat. Keluarga adalah tanggungan hidupnya, menafkahi mereka menjadi kewajibannya. Namun salahkah jika Dipta mengeluh, kalau dia juga mulai lelah?

Seluruh uang yang Dipta peroleh dari novel ia beri untuk keluarganya, pemuda itu hanya menyisihkannya sedikit untuk biaya hidup dan biaya kuliah. Sisanya? Semua untuk keluarga.

Ayahnya sakit, Dipta paham, biaya rumah sakit untuk berobat setiap minggu sudah jadi tanggungan Dipta. Biaya hidup Ibunya yang terlalu glamor dan bertabur kemewahan, sudah jadi kewajiban Dipta meski kadang ia kewalahan, dan juga pendidikan serta uang jajan adiknya sudah jadi tanggungjawab Dipta. Semuanya sudah Dipta, lalu kapan Dipta dapat menata serta memperhatikan dirinya sendiri?

Bahkan keluarganya menelpon hanya jika butuh uang, tapi untuk sekedar bertanya kabar? Mereka tidak peduli. Dipta susah, susah sendiri.

Miaww

Rora mengeong lagi. Kini lebih keras. Menatap Dipta dengan tatapan memelas, seolah dia mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

Dipta tersenyum, lalu kembali meraih Rora untuk dipeluk, “Dipta capek Rora, capek banget, rasanya Dipta kewalahan banget.”

Karena pada akhirnya Dipta hanya memiliki Rora, meskipun hanya seekor kucing namun sangat tulus pada Dipta.

Pemuda itu lantas melirik layar laptop yang masih menampilkan sajak panjang yang merupakan bagian terakhir dari novel terbarunya. Sebuah novel tentang anak lelaki yang hidup sebatang kara, setelah kehilangan kedua orang tuanya. Novel itu berakhir sangat bahagia, klise namun manis. Dimana sang anak laki-laki dapat melanjutkan hidupnya, meraih cita-cita setelah seluruh perjuangan yang hampir membunuhnya.

Dipta tersenyum getir, “Bahagia itu karangan,” karena pada nyatanya setiap ending bahagia yang Dipta tulis untuk setiap karakter dalam novelnya hanya karangan, khayalan dari Dipta yang mengharapkan hal serupa.

Dipta, dan lelah yang selalu menghantuinya. Hanya berharap untuk bagian akhir yang sempurna, dan bahagia. Seperti karangannya.

••••
To be continue!

Halo, cerita ini adalah cerita baru yang sebenarnya merupakan rancangan lama. Selamat menyelami kisah Pradipta ya, semoga kalian sayang sama cerita ini.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya!

Happy Ending Saga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang