Bagian Dua, arti hidup

4 1 0
                                    

••••

“Habis ini nongkrong bentar yuk, ngopi-ngopi di warkop baru dekat taman kota!” Aldi merangkul bahu Dipta, mencoba mengajak kawannya itu bergaul sebentar saja.

Siang itu cuaca begitu cerah, terik sinar mentari tepat berada di atas kepala membakar semua yang ada di bawahnya. Kelas dan pelajaran telah selesai, dan Dipta hendak langsung pulang sebelum sang kawan menghampirinya.

“Lain kali aja, Rora di kos sendirian. Kasian dia, takut minum atau makannya habis.” Tolak Dipta dengan halus.

Dipta bukan tipe remaja yang gemar nongkrong, atau sekedar menghabiskan waktu di warkop seperti rekan sejawatnya. Ketika kuliah telah selesai, Dipta biasanya memilih untuk langsung pulang menuju kosan. Alasannya jelas yang pertama adalah Rora, kucing rewel itu akan mengomel tidak henti jika Dipta lama meninggalkannya sendirian.

Kedua Dipta ingin beristirahat atau sekedar menyelesaikan tugas kuliah serta novelnya, karena pada sore hingga malam hari Dipta harus bekerja lagi di angkringan milik salah satu temannya. Dipta melakukan segala cara yang ia bisa untuk memenuhi kebutuhannya, bekerja tanpa henti bahkan tidak kenal lelah. Setiap kesempatan yang ia rasa akan memberikan uang tambahan, Dipta akan lakukan dengan senang hati.

“Sebentar aja elah, rora gak bakal protes kok. Yuk!” Aldi masih tidak menyerah, “Ta, kadang hidup itu harus dinikmati tau, umur segini gak bisa diulang lagi.”

Dipta hanya tersenyum, namun tetap menggeleng, “Maaf ya, Al, lain kali aja.”

Dalam senyuman tipis yang selalu Dipta beri pada setiap penolakan, Aldi paham banyak beban yang pemuda itu sembunyikan. Aldi dan Dipta sudah mengenal sejak SMA, dan kini memilih kampus serta jurusan yang sama. Seluk beluk tentang siapa Dipta dan bagaimana hidupnya sudah Aldi ketahui, bahkan tak jarang ia menjadi teman curhat untuk Dipta jika dia sedang lelah.

Terkadang Aldi merasa iba pada Dipta, di umurnya yang begitu muda, dia tidak pernah menikmatinya. Menurut Aldi, temannya itu telah sukses untuk ukuran anak seusianya. Memiliki novel yang laris, karir sebagai penulis yang gemilang, serta kuliah dengan nilai memuaskan. Apa yang kurang dari Dipta? Menurut Aldi hanya tentang bagaimana lelaki itu jarang menghargai bahkan memanjakan dirinya sendiri.

Dipta hanya peduli tentang pekerjaan, tentang uang dan keluarga yang harus dinafkahi, hingga lupa untuk berterima kasih pada dirinya sendiri yang sudah bekerja tanpa henti.

“Ta, kalau butuh gue, bilang ya?” Meski pada akhirnya Aldi selalu memilih menyerah, dan membiarkan Dipta melanjutkan perjalannya.

“Widihh sweet banget, kalau gue bilang butuh seratus lo mau bagi gak, Al?”

“Seratus apa dulu ini, seratus rupiah apa seratus ribu?”

“Seratus juta, Al.”

Aldi langsung menepuk kencang bahu Dipta, “Yeuhh itu ngelunjak namanya, dikasih hati minta ginjal lo!”

“Eh boleh, Al. Lumayan ginjal lo gue jual, dapet juga seratus juta!”

“Anying maneh teh!” Keduanya lantas tertawa dengan percakapan tidak jelas yang mereka buat.

Pada akhirnya Dipta akan selalu merespon Aldi dengan senyum cerah dan tawa yang merekah, berusaha meyakinkan temannya itu kalau dirinya akan baik-baik saja.

Sebab, Dipta paham, Aldi selalu peka terhadap keadaan. Peka terhadap Dipta yang selalu tutupi semua lelah yang mengacau pikirannya.

••••

Miawww

“Haloo anak cantik, Dipta pulang. Eluh eluhhh gemesnyaa cayangnya Dipta!” Setelah membuka pintu kamar kos, buntalan berwarna putih langsung menyerangnya. Dipta dengan senang hati menangkap dan memeluk buntalan bulu itu dengan gemas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Happy Ending Saga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang