Syarifah Bercerita

4 0 0
                                    

Kembali ke Masa Lalu

Mungkin ketika orang-orang melihat atau mendengar latar belakang orang tuaku, hal pertama yang terlintas adalah agamis atau sangat alim. Padahal, sebenarnya tidak sepenuhnya begitu. Memang benar, kedua orang tuaku dulu mengenyam pendidikan di pondok pesantren, dan mereka bertemu melalui perjodohan dari seorang kyai. Kalau ditelusuri lebih jauh, keluarga dari ibuku juga punya nasab yang terhubung dengan para wali atau ulama, meskipun itu sudah sangat jauh ke belakang.

Tapi, meski begitu, keluargaku bukanlah yang sangat taat pada agama hingga tanpa cela. Kami hanyalah manusia biasa, tempatnya salah dan lupa. Dari kecil, bahkan sebelum aku lahir, keluargaku sering ziarah ke makam wali atau ulama. Biasanya, ziarah ini adalah rombongan dari pondok pesantren tempat ibu dan bapak mondok dulu. Dalam setahun, bisa berkali-kali kami berziarah, baik di dalam kota maupun ke luar kota, sampai tak terhitung lagi jumlahnya.

Aku masih ingat, waktu aku sudah agak besar, pernah bilang bahwa aku bosan kalau selalu ziarah. Kadang, aku ingin sekali-sekali pergi liburan biasa, seperti ke pantai atau tempat wisata. Meskipun, ada kalanya dalam satu perjalanan ziarah, kami mampir ke tempat lain, seperti pantai atau wisata alam. Lucu kalau diingat, aku lebih sering ke makam wali dibandingkan ke Mall atau pusat perbelanjaan. Indomaret pun aku baru tahu saat MI, diajak oleh Budhe-ku. Bahkan ke Mall Lippo pun aku pertama kali diajak Budhe dan Pakdhe.

Kalau dipikir-pikir, andai mereka nggak ajak aku, mungkin aku nggak akan pernah kenal dan tahu tempat-tempat semacam itu. Orang tuaku memang tidak terlalu kolot, tapi ekonomi kami bisa dibilang menengah ke bawah. Bagi mereka, daripada menghabiskan uang untuk pergi ke tempat-tempat mewah, lebih baik pergi ke tempat yang penuh berkah. Ya, begitulah mereka bilang, hehe.

***

Dulu, ketika aku menyadari bahwa aku memiliki nasab atau keturunan yang baik, aku sempat merasa bangga. Namun, semakin ke sini, aku semakin ingin menutupi hal itu. Bukan karena malu atau apa, tapi karena aku mulai berpikir bahwa seseorang seharusnya dinilai dari adab dan akhlaknya, bukan dari garis keturunannya. Jika aku berlaku buruk, bukankah itu bisa mencoreng nama baik leluhurku? Meskipun mungkin tidak berpengaruh besar, tetapi bagiku hal itu penting.

Aku pernah mengalami kejadian yang membuatku merenung lebih dalam tentang hal ini. Suatu ketika saat kuliah, temanku bertanya, "Habis ziarah dari mana?" Waktu itu aku menjawab dengan santai, "Ziarah dari makam leluhur di daerah X." Tiba-tiba temanku menimpali, "Nah kan, akhirnya ngaku. Aku sudah tahu sejak awal bahwa kamu itu keturunan darah biru."

Aku terdiam sejenak, kaget dengan ucapannya. "Darah biru?" pikirku. Mana ada istilah seperti itu? Mungkin dia hanya bercanda, tapi ucapan itu membuatku berpikir. Memang ada benarnya, tapi rasanya kurang tepat saja. Bagiku, asal-usul seseorang bukanlah hal yang perlu diagungkan. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang membawa dirinya, memperlakukan orang lain, dan menunjukkan akhlak yang baik. Toh, kalau pun seseorang berasal dari keturunan yang terhormat, tanpa adab yang baik, apa artinya semua itu?

***

Melipir dari nasab, kadang aku berpikir bahwa diriku lebih cocok pergi ke tempat-tempat religius. Ada semacam rasa nyaman yang muncul, mungkin karena sejak kecil aku sering mengunjungi tempat-tempat tersebut bersama keluargaku. Kalau pergi ke mall, rasanya agak kagok, mungkin karena aku belum terbiasa dan belum bisa mampir membeli barang-barang yang ada di sana. Tapi, semoga suatu hari nanti aku bisa membeli barang-barang tersebut tanpa harus khawatir soal harganya. Amin.

Kalau bicara soal masa kecil, rasanya memang kurang seru dibandingkan cerita anak-anak lain. Dulu, setiap kali pergi ke pasar malam, aku jarang sekali bermain atau membeli mainan. Sekedar mandi bola atau naik rumah balon saja, aku belum pernah mencoba hingga sekarang, di usiaku yang sudah 20 tahun ini. Sedikit ada rasa menyesal karena tidak banyak mengeksplorasi permainan waktu kecil. Orang tuaku sering bilang, "Mending uangnya buat beli makanan daripada mainan."

Tapi walaupun begitu, aku masih punya kenangan bermain dengan cara sederhana. Aku sering bermain masak-masakan dengan peralatan seadanya atau bermain boneka kertas yang kubuat sendiri. Orang tuaku sesekali membelikan mainan juga, walaupun tidak banyak, tapi itu cukup membuatku bahagia waktu itu. Pada akhirnya, kenangan kecil seperti itu yang justru menjadi bagian penting dari diriku yang sekarang.

Alhamdulillah, aku bersyukur karena adanya kisah-kisah itu di masa lalu. Meskipun sederhana dan mungkin tidak seperti cerita-cerita anak lain yang penuh dengan kemewahan atau petualangan, namun setiap momen memiliki maknanya sendiri. Dari situ aku belajar untuk lebih menghargai hal-hal kecil, menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak selalu datang dari sesuatu yang besar atau mahal, tapi dari kebersamaan, kesederhanaan, dan kenangan yang tak terlupakan.

Kisah-kisah masa lalu itu membentuk siapa diriku hari ini. Mereka memberiku pelajaran tentang kesabaran, syukur, dan keikhlasan. Dan meski ada hal-hal yang dulu mungkin aku sesali, kini aku menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang membawaku ke tempatku sekarang.

Diary SyarifahWhere stories live. Discover now