Menjadi anak bungsu dengan kasih sayang yang berlebih membuat Peony menjadi manja. Dia tidak pernah merasa kekurangan, apapun yang ia inginkan selalu ia dapatkan. Ibunya, ayahnya, dan kakaknya selalu berusaha membuat gadis itu merasa tercukupi.
Peony tidak pernah merasa bersalah, sekalipun ia melakukan kesalahan, orang-orang sudah lebih dulu memberikan maaf untuknya. Sampai suatu ketika, gadis manja yang meronta keinginannya untuk segera dipenuhi itu mendapatkan akibatnya.
Ia kehilangan segala kepercayaan. Kebencian tumpah menutupi kasih sayang yang selama ini ia terima. Rasa sakit yang tidak pernah ia rasakan menumpuk dalam hatinya. Ia kehilangan segalanya, termasuk orang yang paling mencintainya.
Dalam penjemputan paksa Peony oleh ibunya, sesuatu menghantam keras kereta kuda yang ditumpaki keduanya. Marinda, ibu Peony, melindungi Peony dari segala benturan yang mungkin melukai anaknya.
Peony meringis kesakitan, napas hangat seseorang menerpa wajahnya. Terkejut, badan Peony bergetar hebat dengan segala kekalutan yang menyesakkan. Bunyi badan ibunya yang ambruk di samping tubuhnya membuat Peony kesulitan bernapas.
Peony membeku, untuk pertama kalinya ia merasakan kesedihan akan harapan yang kali ini mungkin tidak bisa ia dapatkan. Ketenangannya goyah, air matanya keluar menambah kebingungan tentang situasi apa yang sedang terjadi.
"I-bu,," bisiknya disela tangis yang membuat tenggorokannya sakit.
Seluruh tubuh Peony bagian atas terasa sakit sedangkan bagian bawah tubuhnya mati rasa karena terjepit bagian kursi kereta yang roboh. Tanpa menoleh untuk melihat kondisi Marinda, tangan Peony menggoyangkan pelan lengan Marinda disebelahnya.
Bayangan Marinda dengan mulut dan hidung berdarah membuat Peony makin kalut, terlebih pedang panjang yang menancap dada Marinda membuat Peony kehilangan akal dengan segala kekhawatiran akan bagaimana keadaan setelah ini?
"I-bu,," lirih Peony lagi dengan suara yang hampir tak terdengar.
Kesadaran Peony perlahan memudar. Tangan Peony mencengkram erat baju Marinda dengan harapan agar Marinda menjawab panggilannya. Dalam hati Peony, ia berharap jawaban-jawaban atas pertanyaan pasrah kepalanya tidak terjadi. Ia tidak pernah merasa gagal, tidak pernah merasa sesedih ini, dan tidak pernah merasa kehilangan. Maka setelah ini dan kedepannya ia harap juga begitu.
"Peony! Ibu!" teriak seseorang.
"Tuan Muda, Tuan Putri belum sadarkan diri, jangan mendekat!" suara keras seseorang menimpali.
Dalam kebisingan yang terdengar samar di telinga Peony, Peony membuka matanya pelan. Kakaknya berlari mendekat kearahnya namun ditahan dua ksatria yang memegangi tubuh kakaknya.
"Lepas! Peony! Ibu!"
Tubuh Peony tersentak. Diam dalam kebingungan, matanya yang awal mula samar-samar melihat perlahan menjelas. Bayangannya merambah pada ia dan Marinda di dalam kereta, kenapa ia sekarang ada di tengah hutan dengan posisi berlutut, kenapa kakaknya meneriaki namanya dan ibunya, lalu di mana ibunya?
Mata Peony melebar kaget, ia mundur menyeret tubuhnya yang kaku. Tangannya penuh darah, baju dan tanah tempatnya duduk juga penuh genangan merah yang basah. Bau amis pekat menguar menusuk hidungnya. Ia menatap kakaknya yang masih berusaha berontak melepas diri dari dua ksatria yang menahannya. "Kakak." lirihnya.
Dalam kebingungan yang menakutkan, Peony berdiri. Ingatannya kabur dan ia sulit menentukan mana kejadian yang benar di kepalanya.
Dua ksatria menarik mundur Leo menjauhi Peony yang berusaha mendekat. Menyakitkan, apa yang salah sampai mereka menjauh dengan pandangan seakan-akan ia makhluk menyeramkan.
"Kereta kudanya diserang. Ibu ada di dalam kereta kuda. Mulut dan hidung ibu berdarah. Badanku terasa sakit dan kakiku mati rasa. Kepalaku juga berdarah, lihat semua darah ini, Kak!" Peony menunjuk pada tangan dan bajunya yang berdarah.
Peony berhenti sejenak. Menimang kalimat yang ia adukan pada kakaknya. Kakinya mati rasa tapi kenapa ia bisa berjalan mendekati kakaknya sekarang? Kepalanya terluka, tapi kenapa luka terbanyak ada di bajunya? Ia menatap tangannya yang bergetar hebat penuh darah. "Aku kenapa?" tanyanya.
Peony terduduk dan bahunya bergetar hebat. Tangannya memegang kepalanya yang berdenyut dan beralih menutupi telinganya yang berdengung sakit. Runtutan peristiwa memasuki kepalanya bergantian, membuat dia terdiam bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Makin lama bayang-bayang ingatannya makin berkeliaran, bertabrakan memaksa masuk dalam pikirannya.
"Arghtttt!" Erang Peony menjambak rambutnya. Perlahan tubuh Peony yang bergetar meringkuk. Menggeliat kesakitan menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Perutnya mual, mendorong sesuatu untuk keluar melewati mulut.
Darah segar mengotori mulut Peony. Dengan pandangan yang perlahan samar, tangannya berusaha menggapai kakaknya meminta pertolongan.Ketiga orang yang melihat itu terdiam terkejut. Kaki Leo mendadak lemas dan punggungnya terasa berat. "Aku minta maaf Peony, aku minta maaf ibu." ucapnya penuh penyesalan melihat dua orang yang dicintainya terkapar berdarah di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peony the spoiled princess
FantasyMerubah karakter tidak segampang yang Peony pikirkan. Kepercayaan, sudut pandang, dan sikap orang-orang terhadap Peony membuat ia rendah diri untuk berubah. Tapi, demi membuat citra baik pada namanya, ia rela melakukan apapun. Bahkan jika ia disuruh...