Bab 1. Hari Itu

6 1 0
                                    

Aku masih ingat saat itu. Seseorang dengan tatapan sedalam lautan dan wajah penuh ekspresi tersenyum kepadaku. Hariku yang kelabu tiba-tiba menjadi lebih berwarna.

.

.

.

Langit di luar sangat gelap. Sepertinya akan turun hujan deras. Aku benci saat mendung; perasaanku menjadi gelisah dan mengingatkanku pada kejadian itu, kejadian yang terjadi sekitar satu tahun lalu. Awal tragedi ini dimulai.

"La, kamu lebih suka cokelat atau keju?" tanya seorang cowok di sampingku. Dia berdiri di samping mejaku dengan senyum lebar sambil memegang dua bungkus roti.

"Dua-duanya, sih!" jawabku sambil menatap matanya yang cokelat tua.

"Oke, rasa keju buat kamu. Aku sih nggak suka keju," katanya sambil meletakkan satu roti di mejaku, lalu pergi begitu saja.

"Eh, tunggu dong!" seruku. Dia berhenti dan menoleh. "Kenapa kamu kasih aku roti ini?"

"Sama-sama," ucapnya, lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.

Sejak hari itu, aku selalu memperhatikannya. Aku jadi mengamati ekspresinya dan apa yang dia lakukan. Ekspresi wajahnya cepat sekali berubah. Aku bisa tahu perasaannya saat ini hanya dengan melihat wajahnya.

"Orang aneh," gumamku.

"Hah? Siapa yang aneh?" tanya Amel, temanku di sebelahku. Dia adalah teman pertamaku saat masuk kuliah. Cewek ini populer dan dikenal banyak orang. Alasannya, ya karena dia cantik, pintar, dan aktif di organisasi.

"Nggak," jawabku terkejut.

"Emm, kayaknya ada sesuatu yang kamu sembunyiin nih. Aku curiga," katanya sambil mengarahkan kursinya ke arahku. "Dari tadi kamu pura-pura lagi baca buku, padahal kamu lagi liatin seseorang kan ya?"

"Nggak, nggak," kataku sambil membenarkan posisi dudukku.

"Kalau diliat dari arah tatapan kamu, kamu ngeliat ke-" Amel mengangkat pensil yang ada di tangannya. "Aidan," ucapnya sambil sedikit berteriak.

"Suttt, jangan keras-keras," bisikku sambil membungkam mulutnya dengan tanganku.

"Wah, aku nggak nyangka! Akhirnya cewek cool ini suka sama seseorang," goda Amel dengan senyum lebar. "Apa temanku ini bakal mengakhiri masa jomblonya?"

"Apa sih? Aku cuma ngeliat dia doang, nggak sengaja. Nggak ada apa-apa," jawabku sambil menggeleng.

"Masa?" tanya Amel, tampak tidak percaya.

"Iya, serius!" balasku dengan tegas.

Hari-hari berlalu, pikiran tentang Aidan selalu menghiasi benakku. Rasanya aneh, mengingat seseorang yang bahkan belum aku kenal dengan baik hanya karena sebuah roti. Suatu sore, saat sedang duduk di perpustakaan kampus, aku merasa sangat gelisah. Sepertinya semua buku di depanku hanya menjadi latar belakang untuk pikiranku yang melayang.

Ketika aku mencoba berkonsentrasi, suara berdeham tiba-tiba menarik perhatianku. Aku menoleh dan melihat Aidan berdiri di rak buku, mengamatiku dengan tatapan penasaran. Matanya yang cokelat tua itu tampak lebih hangat di bawah cahaya lampu perpustakaan.

"Hey, Layla, kan?" sapanya dengan senyum yang membuat detak jantungku melambat.

"Iya," jawabku dengan suara hampir berbisik, berusaha menyembunyikan rasa gugupku.

"Maaf kalau aku ganggu. Aku lagi nyari buku tentang psikologi. Kamu tahu di mana letaknya?" tanyanya, tampak santai.

"Oh, itu di rak sebelah kanan," aku menunjuk, berusaha mengalihkan perhatian dari kegugupanku. "Di sana banyak buku bagus."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unplanned EncountersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang