chapter 10 ,Kenangan yang Terpendam dan impian setiap orang

16 7 0
                                    

Di sebuah kafe kecil dekat SMA OD, suasana riuh rendah memenuhi ruangan. Suara tawa dan obrolan hangat mengisi udara, terutama dari meja yang dihuni oleh siswa kelas 3A. Mereka baru saja merayakan kemenangan kelas mereka dalam event kuliner. Rara, Fei, Mitsugi, dan Rin tampak ceria, berbagi makanan dan cerita.

"Ya ampun, kita menang! Aku masih nggak percaya!" teriak Rin, wajahnya bersinar penuh semangat.

"Semua karna kembalinya Fei! Tanpa lo, kita nggak akan bisa mendapatkan pengunjung sebanyak itu," sahut Mitsugi, menepuk punggung Fei.

"Haha, gue hanya melakukan apa yang harus dilakukan," jawab Fei sambil tersenyum, lalu matanya melirik ke arah Rara yang duduk terpisah dari mereka. "Eh, Rara! Kenapa lo nggak ikut merayakan? Ayo sini!"

Rara mengangkat pandangannya, wajahnya terlihat muram. "Aku... aku lagi mikirin Hazel," jawabnya pelan.

"Hazel? Kenapa?" tanya Fei, mengerutkan dahi.

"Dia sudah dua hari nggak balas pesan aku," Rara menjelaskan sambil menggigit kue yang ada di depannya.

"Ah, Rara, sabar ya. Ujian kelulusan tinggal 30 hari. Fokus dulu sama belajar," ucap Fei, mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Rara. "Gue yakin dia nggak akan mengingkari janjinya."

Rara menghela napas, "Tapi aku khawatir dia sudah melupakan aku. Kita sudah berjanji untuk masuk kampus yang sama."

"Jangan berpikir negatif, Ra. Cobalah untuk tetap positif. Mungkin dia cuma sibuk," Fei mencoba menenangkan.

Sementara itu, di desa yang jauh dari kota ciku, Hazel sedang mengamati barang-barang lama di gudang kakeknya. Dia baru saja pindah dan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Dengan hati-hati, dia menarik sebuah kardus di bawah meja, dan membawanya ke ruang tamu lalu membukanya. Di dalamnya, terdapat piala, medali, dan seragam karate yang mengingatkannya pada masa lalu.

"Wow, ini semua..." gumamnya sambil memandangi foto-foto kenangan saat masih SMP.

Dia teringat saat-saat ketika dia menjadi juara dalam kejuaraan karate. "Kenapa dulu ibu selalu melarang gue ikut karate ya?" pikirnya, hatinya terasa berat. Dia hanya mengingat bagaimana ayahnya selalu mendukungnya.

Kenangan yang Terpendam

"Gue harus buka ini," gumamnya pelan, tangannya meraih kardus itu dan menariknya ke arah diri.

*Grrr...* Suara kardus itu bergetar saat dibuka. Di dalamnya, piala berkilau, medali, dan seragam karate yang dulunya sering dipakainya. Namun, yang paling menyentuh hatinya adalah foto-foto kenangan saat dia masih di SMP.

"Hah..." Hazel menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. Kenangan yang menyakitkan kembali menghantui pikirannya. Dia teringat saat-saat di mana dia selalu menduduki podium juara, namun ibunya selalu melarangnya untuk berkompetisi.

"Kamu harus fokus pada belajar Hazel ,jangan pernah ikut karate!!," suara ibunya terngiang di telinga.

"Tapi, Bu, aku ingin jadi juara!" serunya saat itu, berharap bisa meyakinkan ibunya. Tapi hanya ayahnya yang selalu mendukungnya.

"Hazel, kamu punya potensi besar. Ayah percaya padamu," kata ayahnya, sambil menepuk pundaknya.

Hingga saat itu, semua kenangan berputar dalam pikirannya, terutama hari di mana dia mendapatkan kesempatan untuk bertanding di kejuaraan karate antar kota.

*Drrr... drrr...* Suara detakan jantungnya terbayang saat pelatih memberi pengumuman. "Hazel, kamu terpilih untuk mewakili sekolah kita!"

"Yay , let's go!" jerit Hazel penuh semangat, tetapi hatinya juga bergetar saat memikirkan ibunya yang tidak setuju.

Our Promise  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang