Bab 1: Cita-Cita yang Terlahir dari Luka

1 0 0
                                    

Di bawah pohon rindang, Sila duduk di halte, menunggu bus dengan tatapan kosong. Angin lembut meniup rambut hitamnya, namun pikiran Sila berputar di masa lalunya. Ketika bus tiba, Sila naik dengan langkah perlahan, lalu memilih duduk di samping seorang wanita paruh baya. Nama di tag identitas wanita itu membuat Sila terkejut: Dra. Ratnasari, S.H., M.H., seorang petinggi hukum di bidang perceraian—sebuah karier yang Sila impikan sejak lama.

Pertemuan dengan Ibu Ratnasari tidak disangka-sangka. Dengan mata berbinar, Sila menceritakan cita-citanya yang lahir dari rasa dendam terhadap ayahnya. Ratnasari mendengarkan dengan tenang, namun ketika Sila selesai, wanita itu menatapnya dengan penuh kasih dan menyampaikan nasihat yang tak pernah Sila duga.

Karena Sila melihat nama itu terlalu lama,tiba tiba ibu itupun bertanynya.

-

--

"Ada apa, nak?" tanya Ibu Ratna dengan lembut.

“Enggak, Bu. Aku cuma lagi kepikiran pengen jadi petinggi hukum juga, Bu,” jawab Sila dengan ragu.

“Kok kamu pengen jadi petinggi hukum?” tanya Ibu Ratna, agak heran. (Karena menurutnya jarang anak muda yang mau jadi pengacara).

Sila pun mulai bercerita tentang alasannya, termasuk keinginannya membalas dendam pada ayahnya. Setelah mendengar cerita Sila yang menyentuh hati, Ibu Ratna bertanya lagi.

“Nak, kenapa kamu pengen balas dendam sama ayahmu?” tanya Ibu Ratna sambil mengelus punggung Sila.

“Kamu nggak perlu balas dendam ke ayahmu dengan cara ngehakimin dia. Lebih baik, kamu tunjukin kalau kamu bisa jadi apa yang kamu impikan,” ucap Ibu Ratna sambil menatap Sila yang matanya sudah mulai berkaca-kaca.

“Kenapa gitu, Bu?” tanya Sila sambil menangis.

“Nak, nggak semua hal bakal berjalan sesuai yang kamu harapkan. Ibu yakin, impianmu sebenarnya bukan jadi petinggi hukum. Kamu mau jadi petinggi hukum karena situasi yang bikin kamu merasa tertekan,” kata Ibu Ratna, sambil menyeka air mata di pipi Sila.

“Tapi, Bu, ayahku udah jahat banget sama ibuku,” kata Sila, terisak.

“Jangan begitu, nak. Bagaimanapun juga, dia tetap ayahmu,” jawab Ibu Ratna, kembali mengelus punggung Sila.

“Nak, sebelum kita sampai, boleh ibu tahu alamat rumahmu?” tanya Ibu Ratna.

“Boleh, Bu. Emang kenapa, Bu?” tanya Sila penasaran.

“Nggak apa-apa, nak. Ibu cuma mau main ke rumahmu kapan-kapan, boleh nggak?”

“Oh, boleh banget, Bu. Ini alamatnya. Jangan sungkan datang ya, Bu,” jawab Sila.

“Iya, terima kasih ya, nak,” sahut Ibu Ratna.

“Sama-sama, Bu,” balas Sila.

Tak lama kemudian, bus berhenti di terminal dekat kantor pengacara perceraian tempat Ibu Ratna bekerja.

“Nak, ibu turun dulu ya,” kata Ibu Ratna sambil bersiap-siap.

“Iya, Bu. Makasih banyak ya, Bu, buat semuanya,” ucap Sila.

“Sama-sama, nak. Ingat pesan ibu ya, nggak semua yang kamu harapkan bakal berjalan sesuai keinginanmu,” kata Ibu Ratna sambil mengelus punggung Sila sekali lagi.

“Iya, Bu,” jawab Sila.

Ibu Ratna pun turun dan langsung masuk ke kantornya.

Tak lama setelah itu, bus kembali melaju kencang. Hujan deras pun tiba-tiba turun.
Setiap kali hujan, Sila selalu teringat pertengkaran orang tuanya, yang menurutnya terjadi karena dirinya.

--- 

Asteroid HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang