Hari-hari berlalu dengan lambat, dan kesunyian di kamar Rafael terasa semakin berat. Mesin-mesin medis yang menopang hidupnya tetap bekerja tanpa henti, mengisi ruangan dengan bunyi monoton yang mengingatkan semua orang bahwa hidup Rafael berada di ujung ketidakpastian. Amalia, yang hampir setiap saat berada di sisi tunangannya, tak pernah lelah memberikan perawatan terbaik dan mendampinginya dengan penuh cinta.
Selena sering datang menjenguk, walau hanya untuk beberapa jam. Ketika ia tak ada di sana, pikiran Amalia terus berputar-putar pada semua kenangan yang mereka bagi bersama Rafael. Setiap sentuhan, setiap tawa, dan setiap janji yang dulu mereka ikrarkan kini terasa jauh, seolah mereka berada di antara dua dunia yang berbeda—dunia yang dipenuhi kehidupan, dan dunia yang dipenuhi keheningan.
Pada pagi yang cerah, Amalia sedang mengganti perban di lengan Rafael dengan hati-hati ketika pintu kamar terbuka. Selena masuk dengan langkah pelan, wajahnya sedikit lebih cerah dari hari sebelumnya. Ia membawa seikat bunga yang harum, memberikan sedikit warna pada ruangan yang serba putih itu.
"Aku bawakan bunga untuk kak Rafael," ujar Selena sambil tersenyum tipis. Ia meletakkan bunga itu di meja kecil di samping tempat tidur kakaknya, lalu beralih duduk di kursi yang sudah familiar baginya. "Mungkin dia bisa merasakan keharumannya."
Amalia tersenyum lembut, mengangguk. "Terima kasih, Selena. Aku yakin dia bisa merasakan kehadiran kita, meski dia belum sadar."
Setelah selesai dengan perbannya, Amalia duduk kembali di kursi di sisi tempat tidur Rafael, memegang tangannya yang hangat meskipun tubuhnya masih tidak bergerak. Hari ini ia ingin mempercayai bahwa Rafael mendengar semua yang dikatakan mereka berdua. Setiap kali ia berbicara, ada harapan kecil bahwa ada sesuatu di dalam Rafael yang berusaha untuk kembali.
Selena menatap kakaknya dalam diam, lalu beralih pada Amalia. "Kau tidak lelah, Amalia? Setiap hari di sini... aku tidak tahu bagaimana kau melakukannya."
Amalia menggeleng pelan. "Tidak, aku tidak pernah lelah untuk Rafael. Dia butuh aku di sini. Bagiku, ini adalah satu-satunya tempat yang harus kutempati sekarang. Aku percaya dia akan kembali. Ketika dia bangun, aku ingin menjadi orang pertama yang dia lihat."
Selena terdiam, terharu oleh dedikasi dan cinta yang terpancar dari Amalia. Ia tahu bahwa kakaknya sangat mencintai Amalia, dan sekarang ia benar-benar memahami mengapa. Dalam situasi yang paling sulit ini, Amalia tetap kuat dan penuh kasih.
Amalia menarik napas dalam, menatap Rafael yang terbaring tenang di hadapannya. "Rafael selalu berkata padaku bahwa dia akan selalu melindungiku. Sekarang giliran aku untuk melindungi dia, bahkan jika itu berarti hanya berada di sampingnya, menunggu dia kembali."
Selena mengangguk, air mata menggenang di matanya lagi. "Kak Rafael sangat beruntung memilikimu. Aku yakin, dia akan bangun. Kita hanya harus percaya."
Setelah beberapa saat, Selena berdiri, mengambil tasnya, dan bersiap untuk pergi. "Aku harus kembali ke istana, ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Tapi aku akan kembali lagi nanti. Jaga kak Rafael, Amalia."
Amalia tersenyum dan mengangguk. "Selalu."
Selena keluar dari kamar, meninggalkan Amalia sendirian lagi bersama Rafael. Ia menatap wajah tunangannya yang damai, lalu bersandar sedikit lebih dekat, berbisik lembut di telinganya.
"Rafael, aku tahu kau bisa mendengarku. Kami semua menunggumu. Aku menunggumu. Tolong... cepatlah kembali. Ada begitu banyak hal yang masih harus kita lakukan bersama."
Amalia tetap di sana, menunggu, berharap ada respons, sekecil apa pun. Tapi keheningan tetap ada, tanpa tanda-tanda kehidupan yang nyata dari Rafael. Meskipun demikian, harapannya tidak goyah. Ia tahu, jauh di dalam hati Rafael, ada keinginan untuk bangun, untuk kembali kepada mereka yang mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IN SILENCE
Historical Fiction**Sinopsis: "LOVE IN SILENCE"** Rafael, pangeran mahkota yang koma akibat kecelakaan, dirawat dengan penuh kasih oleh Amalia, tunangannya sekaligus seorang perawat. Meski tak ada jawaban, Amalia tetap setia merawatnya, berbicara tentang kenangan dan...