Bab 22 - Gemerlap Harapan

87 12 13
                                    

Ruang dengan minim cahaya seakan menjadi tempat paling nyaman untuk pria dalam balutan jumpsuit hitam yang tengah beranjak dari kursinya itu, meninggalkan topeng berhiaskan simbol satu mata dadu tetap tergeletak di atas meja. Ia ambil langkah pasti hingga berlabu tepat sejengkal sebelum papan kaca yang terbentang lebar di hadapannya. Goresan tinta merah meciptakan sebuah susunan kalimat berupa 'Night Of Happiness' dengan beberapa lembar gambar yang terpajang di bagian bawah.

Tertata setelah kalimat 'Wali Kelas XII' sebagai judul, wajah-wajah para pengajar disematkan. Setiap foto bersanding dengan identitas yang melibatkan nama serta asal kelas mereka, hal serupa juga dimiliki foto Harja sebagai yang pertama. Menyisir seluruh bagian papan transparan dengan garis merah panah, seakan mempermudah caranya untuk mengidentifikasi. Terlepas dari beberapa gambar pemilik tandanya masing-masing, hingga melintas kutipan selembaran koran dengan berita yang diangkat sebagai 'Kasus sekolah menengah atas tanpa HAM' dengan tampilan luar gedung SMA Ganesha Indonesia sebagai foto utamanya. Pria itu mendaratkan perhatiannya pada secarik kertas yang menampilkan kerangka anatomi manusia dengan dikelilingi lima foto potongan anggota tubuh berlumuran cairan merah dari setiap bagian.

Memilih untuk tetap bungkam tanpa mengeluarkan suara, ia meraih spidol merah tanpa penutup dari sisi ia berdiri. Dibawanya alat tulis itu untuk sekedar menyusuri kelima foto bagian anatomi. Jika semula goresan silang hanya dimiliki oleh sepasang gambar sebelah lengan dan kaki. Kini pria itu menciptakan dua coretan garis berlawanan pada bagian foto potongan lengan pemilik gelang berwarna cerah dengan manik-maniknya yang indah.

"Waktu kalian, hanya tersisa dua puluh menit lagi." Dengan suara berat khasnya pria itu berucap sembari berbalik pada layar monitor yang menampilkan setiap kolase video kamera pengawas. Ia melangkah lantas berdiri di balik kursi putarnya. "Gunakan sebaik mungkin, sebelum permainan berikutnya... dimulai," imbuh pria itu, seraya menatap intens layar dengan ketakutan para siswa sebagai tontonannya.

***

Tumpukan kertas tak lagi tertata sempurna, setiap pintu rak dibiarkan terbuka. Gemeretak dari tubuh yang bertabrakan dengan material furniture, seakan menguasai ruangan pemilik sekat-sekat meja yang tengah para siswa jelajahi dengan agresif. Dipimpin sang ketua OSIS mereka lantas menyisir setiap area untuk menemukan jalan keluar.

"Temen-temen semuanya dengerin gua," tukas Alex yang menarik atensi seisi ruangan. "Di setiap meja guru ada telepon, kalian bisa pakai itu buat ngehubungin orang di luar untuk minta bantuan, siapapun itu, oke?" imbuhnya memberi instruksi.

Beriringan mereka mengangguk atas ucapan Alex, hingga detik berikutnya para siswa mengangkat gagang telepon berkabel setinggi telinga sembari memutar otak mencari rangkaian angka dalam benak untuk mereka hubungi. Setiap angka ditekan dan berakhir dengan kecemasan, mereka bergumam menanti suara yang terdengar dari seberang telepon.

"Ayo... ayo... angkat, please angkat," gerutu gadis pemilik bando biru langit itu seraya mengikis kuku jarinya.

Untuk sekian kali tombol-tombol angka ditekan dengan tak tenang, kekhawatiran seakan merangkul setiap siswa. Ruang berdinding putih berhias selusin bohlam lampu yang bersinar, seakan kalah dengan warna pudar dari harapan mereka.

"Kenapa semua nomor yang gua hubungin gak ada yang tersambung sih?" sungut cowok berambut acak-acakan yang tengah memijat pelipis kepalanya.

"Gua juga, gak ada respon apa-apa, njing!" timpal suara berat itu dari sisi meja lain.

Alex menghentikan jari jemarinya untuk menjelajahi tombol telepon ketika melihat kecemasan teman sebayanya yang kian meningkat. Karena tak bisa dipungkiri ia juga tak menuai hasil dari usaha kerasanya menghubungi setiap nomor yang ia ingat. Alex memandang wajah mereka satu persatu, hanya raut ketakutan dan lelah yang ia dapatkan.

Night Of Happiness (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang