Bab 27 - Sang Panjang Tangan

54 5 0
                                    

Meninggalkan XII IPS 1 dengan hadiah spesial yang sama sekali tak disentuh bahkan dibuka, kelimpungan tengah melanda Angga—Sang ketua kelas serta seisi ruangan. Beriringan dengan semilir angin dingin yang menyapa dari cela jendela terbuka, kedatangan mereka untuk pertama kali hanya disambut dengan meja kosong dengan bola tenis diujung kakinya. Tak mereka temukan keberadaan kotak putih berisi sebelah lengan berdarah seperti terakhir kali mereka tinggalkan.

"Kemana perginya kotak itu?!" tanya gadis bercardigan coklat muda yang berdiri di depan kelas, ditemani amarah diujung kalimat.

"Bangsat! kemana kotak itu?!" timpal Erza seraya menggaruk punggung kepalanya yang tak gatal. "Gimana ini? cuma itu satu-satunya harapan kita bisa keluar dari sini!"

Tanpa segan kalut hadir di tengah lelah yang merangkul seisi ruangan, kacau seolah menguasai setiap kepala yang membara. Saling melempar pandang, tak ada titik terang yang mereka dapatkan. Sementara Angga tak berniat untuk mengemukakan suara, ia hanya menyaksikan semuanya beradu mulut dengan terkaan dan tuduhan yang dilemparkan memenuhi kelas XII IPA 3 itu.

"Atau jangan-jangan ini kelakuan Yuri? bisa aja 'kan dia berusaha buat kabur lewat jendela dan bawa kotak itu bersamanya, bener gak?" tuduh  Retta sembari memandang sekitar mencari pembenaran.

"Tapi kayaknya enggak mungkin deh. Secara kita semua bisa lihat sendiri tadi, gimana kondisi Yuri di depan," sahut cowok itu diakhir langkah tak tenangnya, seraya berlayar dalam benak kembali pada tubuh tak berdaya di balik pintu kaca.

"Persetan dengan gadis itu!" umpat Loly geram. "Yang harus kita pikirin sekarang bukan dia, tapi gimana caranya kita bisa dapet kelima potongan puzzle dan keluar dari neraka ini!" suara gadis itu membumbung tinggi, membungkam setiap siswa.

Tak hanya mereka yang tenggelam dalam pertikaian, kegelisahan serupa turut merangkul seisi kelas XII IPA 1 yang diperlihatkan lewat pertanyaan hingga umpatan yang dilayangkan. Bukan tanpa alasan, melainkan hadiah spesial yang mereka miliki tak lagi ada di tempatnya semula. Tertegun tanpa kata, bertukar pandang dalam ketegangan  porak-poranda sudah dengan terkaan tiada ujung yang mereka lontarkan tanpa titik temu pasti.

***

"Kira-kira kelas mana ya yang dapet hadiah spesial itu kali ini?" gumam Juna seraya melangkah meninggalkan daun pintu tempatnya bersandar. Melintasi meja dengan tiga kotak putih berhiaskan pita merah yang berjajar di pusat pandangan para siswa.

"Pastinya kelas dengan siswa yang mati paling sedikit," sahut Farez di sisi dinding tanpa irama, seiring langkah cowok berkalung headphone yang berlabuh, duduk di ujung meja tak jauh dari persinggahan Thea.

Bagai kegelapan yang menyelimuti semesta tanpa sinar sang rembulan, kelas XII IPA 4 tengah dilanda kesunyian. Hening menyita usai dengan dialog yang tercipta, mengizinkan detak jarum jam untuk berdentang lebih keras menguasai segala penjuru ruangan. Deru setiap napas lelah para siswa seakan mengiringi tatapan datar yang kehilangan raut wajahnya. Sampai sebuah pertanyaan sontak menyela ketenangan.

"Sekarang apa? udah? gini aja?" kalimat itu datang dari Selyn di depan kelas yang mengambil alih atensi teman sebayanya.

Berdiri terpaku di balik gadis pemilik jepit rambut itu, Juan yang bersanding dengan Gwen bahkan Sebastian yang selalu gusar memilih untuk tetap diam. Tak ada kata yang menyahuti, bungkam seolah menjadi pilihan yang tepat untuk menyimpan sisa energi usai segala yang terjadi. Selyn hanya menerima kehampaan, sebelum
getaran dari saku rok pendek seragamnya mampu mengejutkan gadis itu.

Ting!

Sontak Selyn mengambil arah pada sumber suara, diikuti Ilona yang berdiri tak jauh darinya dalam keterkejutan. Terpaku sejenak ia lantas mendongak melempar tatapan pada sekeliling, sebelum ia merogoh dengan ragu saku roknya. Penantian seakan menguasai para siswa yang memperhatikan setiap gerak gadis itu. Detik berikutnya dengan perlahan Selyn membawa benda pipih dalam genggaman naik setinggi bola mata. Bagai tersentak, seketika Sebastian beranjak dengan cepat merebut ponsel tanpa casing dari tangan Selyn yang terperangah. Seluruh pasang mata yang terperanjat mengikuti Sebastian, kala cowok itu membawanya ke pusat kelas seraya memperhatikan setiap inci dari benda yang ia genggam.

Night Of Happiness (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang