Just two teenagers

32 7 0
                                    

Mata bulat Rami terbuka begitu sepasang tangan menuju ke arah kepalanya, memasang jepitan lucu warna hijau disana. Sosok di depannya tersenyum, lalu mencubit sekilas pipi Rami yang mulai muncul semburat merah.

Cermin di depan memantulkan sosok dirinya bersama seorang laki-laki yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya, Maki. Berdiri di belakang Rami, memegang kedua pundak perempuan itu, menatap pantulan mereka di cermin.

"Kamu suka gak?" tanya Maki meminta pendapat. Rami menyentuh jepitan di kepalanya, lalu mengangguk singkat.

"Masih banyak yang lain, pilih yang kamu suka" ujar Maki memberi pilihan. Pria itu ikut memilih, lalu menarik tangan Rami untuk diberikannya jepitan lain.

Rami menggigit bibir bagian dalam, merasa jantungnya berpompa lebih cepat akibat sentuhan-sentuhan yang Maki beri. Ini belum seberapa tapi rasanya Rami seperti ingin meledak, memikirkan seseorang yang selama ini dia puja ada bersama dirinya.

"Udah itu aja?"

Setelah memilih yang dia suka, Maki mengajaknya kembali berkeliling di pasar malam. Tadi mereka juga telah menaiki beberapa wahana dan permainan seru, menghabiskan waktu cukup lama hingga jam menunjukkan pukul 9 malam.

Ponsel Rami berdering, tertera nama kontak 'Ayah' disana. Melirik ke Maki sebentar lalu mengangkat telepon itu, sedikit menjauh karena suara-suara manusia yang berisik disana.

"Halo Ayah?"

"Sudah jam berapa ini?" tanpa menjawab 'halo' darinya, ayah justru melemparkan sebuah pertanyaan.

"Jam 9, Ayah"

"Bundamu ngasih izin main bukan untuk lupa waktu gini,"

Rami meneguk salivanya, dia memang lupa waktu karena terlalu bersenang-senang bersama Maki dari pulang sekolah tadi.

"Maaf Ayah,"

"Ayah nggak butuh maaf. Ayah mau kamu pasang nuka depan Ayah limabelas menit lagi!"

Sambungan terputus. Nggak biasanya ayah Rami memutuskan hubungan telepon secara sepihak tanpa menunggu anaknya menjadi orang terakhir yang bersuara.

Maki yang berdiri beberapa langkah darinya menatap penuh rasa bersalah. Dia pun berjalan mendekati Rami dengan kedua tangan yang memegang tali tas di punggungnya.

"Ayo pulang," Maki melepas pegangannya pada tali tas, mengulurkan sebelah tangan untuk menggandeng Rami dan diterima baik oleh perempuan itu.

"Maafin aku ya," ujar Maki lagi ketika mereka berjalan berdampingan.

Rami mendongak ke sebelah. "Jangan minta maaf! Aku seneng kok jalan-jalan sama Kak Maki daritadi!" jawaban Rami membuat Maki tersenyum.

"Aku juga seneng. Tapi kamu jadi diomelin, aku nggak enak sama orang tua kamu,"

Rami hanya diam, sebenarnya dia yang bohong pada bunda tadi. Izin kerja kelompok di rumah salah satu teman sekelasnya, dan lanjut main ketika kerja kelompok selesai. Padahal dia bersama Maki daritadi.

"Biar aku ngomong sama Ayah kamu nanti,"

Rami mendadak menghentikan langkah, menahan tangan Maki. "Jangan!" membuat dahi laki-laki itu tertaut.

"Maksudnya... kan Kak Maki belum pernah ketemu, dan situasinya lagi kayak gini. Jadi aku rasa nending jangan dulu deh,"

Maki hanya menurut dan mereka lanjut ke parkiran untuk mengambil sepeda listrik warna hitam yang digunakan Maki untuk sekolah. Sebelum mereka menaiki sepeda listrik, Maki membuka tasnya dan mengeluarkan jaket disana.

Get To Know You ⨾ rami, maki.  ❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang