ADRIAN WIBISANA MAHENDRA

5 3 0
                                    


SETIAP kelas selalu mempunyai pemimpin untuk mewakilkan kelasnya. Contohnya, sebagai perwakilan untuk mengunmpulkan buku-buku siswa dan dibawa ke kantor secara mandiri.

Kecuali kelas Delapan Belawarta -atau bisa dibilang kelas Delapan B, yang mengandalkan semua orang-orangnya untuk menjadi perwakilan. Mereka tidak peduli dengan ketua kelas atau ketua wakil kelas mereka, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka mengumpulkan tugas dengan cepat.

Hari ini, Prajalah yang melakukannya. Mengantar buku-buku tugas milik teman-teman di kelasnya ke kantor guru untuk dinilai di sana, lalu mengembalikannya lagi ke kelasnya.

Berjalan alangkah orang yang baru saja terbangun dari tidur, terhuyung karena banyaknya buku-buku tugas yang tebal itu di tangannya. Kedua tangannya yang membawa buku-buku tersebutpun bergetar saking beratnya bawaan yang ia tumpukkan kepada kedua tangannya itu.

Tidak tahan lagi, pegal rasanya, kapan Praja sampai ke kantor guru?

Ia terhuyung hingga menabrakkan dirinya ke westafel umum di dekat kelas delapan A. tak lama, ia menjatuhkan beberapa buku ke atas kaki kanannya.

Hampir saja kaki kanan Praja sebagai tempat jatuhnya buku-buku itu mendarat, jika ia tidak menyingkirkan kakinya di sana maka akan sakit rasanya terkena buku-buku tebal tiga sentimeter itu.

 Praja menghela napas lega karena buku-bukunya yang terjatuh terilhat baik-baik saja. Dan kini, ia tidak bisa mengambilnya akan susahnya ia berjongkok karena buku-buku tebal yang ia pegangi saat ini.

"No ... bagaimana ini?" tanyanya pada diri sendiri akan kesusahan menggapai buku-buku tersebut di lantai.

 Kini ia menghela napas menyesal, kesal karena ia tidak bisa menggapai buku-buku di lantai itu. "Pendek," kata seseorang sembari mengambil buku-buku yang berserakan tepat di bawah Praja.

 Praja terkejut mendengar betapa kencangnya perkataan yang dilontarkan seorang laki-laki di depannya itu. Ia kesal setelah mendengarnya, Prajapun mendongak ke atas setelah berlama-lama memerhatikan buku-buku yang berserakan.

 Ia terkejut bahwa seseorang yang ia tatap itu adalah anggota osis dengan rambut hitam pekat bergaya tengah dan kacamata kotak hitam yang bertengger di batang hidungnya yang mancung.

"Jangan menatapku seperti itu, Ja. Aku bukan bingkai foto yang harus ditatap," ucapnya sambil membenarkan bingkai kacamatanya yang sedikit menurun.

"Bagaimana bisa kau mengenalku? Aku belum berbincang kepada orang-orang selama ini." Laki-laki bermata upturned berwarna hijau-kecoklatan tersebut menyisihkan beberapa buku dari tangan Praja ke tangannya.

"Banyak yang membicarakanmu karena kemiripanmu dengan seseorang," katanya sambil membenarkan postur tubuhnya.

 Praja berdehem kecil untuk tidak terlihat kejanggungannya terhadap laki-laki di depannya.

"Tetapi, aku lupa siapa yang mereka bilang itu. Yang aku tahu hanyalah kau mirip dengan seseorang." Laki-laki bersurai hitam pekat itupun berjalan meninggalkan Praja yang masih termenung.

 Laki-laki itu tahu jika Praja ingin pergi ke sebrang kelas, yaitu kantor guru. Sesampainya di kantor guru, yang terlihat di dalam sana hanyalah seorang pria berstatus guru yang tentu saja bukan guru bahasa.

 Praja mengenal pria tersebut, itu adalah guru yang selalu saja bercanda di dalam kelas. Guru Sejarah, yang selalu dinantikan murid-murid di kelas.

"Ada apa?" Pertanyaan andalan kepada anak muridnya. Praja dan laki-laki di depannya tersebut meneguk liur pelan lalu lanjut menyimpan buku di suatu meja yang terdapat nama di atasnya.

Pradja has been found [] ON GOING []Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang