13B | END

1K 163 28
                                    

Kafka menjelaskan semuanya dengan suara yang lirih. Foto-foto yang Putri dapatkan dari Nadhira asli, bukan rekayasa. Kafka mengakui segala keburukkannya di masa lalu, termasuk alasannya menikahi Putri

"Maafkan aku Bu. Aku tidak bisa merubah masa laluku tapi aku janji hal itu tidak akan aku lakukan lagi. Aku mencintai Putri." Ucap Kafka pada Ibu. Matanya memerah menahan tangis. Ia sungguh berharap Ibu dan Putri mau memaafkannya. "Sebisa mungkin aku akan berusaha untuk membahagiakan Putri."

Ibu diam, begitupun dengan Putri. Baik Ibu dan Putri tidak menyangka kalau kehidupan Kafka di masa lalu begitu bebas.

Tangisan sang bayi memecahkan keheningan di dalam kamar tersebut.

"Sepertinya ia haus." Ucap Ibu sambil memberikan bayi kecil itu ke pangkuan Putri.

Putri mengangguk. Ia menyusui buah hatinya dalam sepi.

"Ibu keluar sebentar yah." Ibu pamit pada Putri dan Kafka. Tapi sebelum keluar Ibu berucap pada Kafka. "Ibu marah padamu bukan karena masa lalumu karena tidak ada yang bisa merubah masa lalu tapi Ibu marah karena kamu telah menjadikan putri Ibu sebagai bahan taruhan."

"Maafkan aku Bu." Kafka kembali meminta maaf.

Ibu menghela napas sebelum akhirnya mengangguk tanda kalau ia memaafkan Kafka.

Kafka berjalan mendekati Putri. Ia hendak menyentuh bahu Putri, namun urung saat Putri memilih untuk bergeser, tanda kalau ia tidak mau disentuh oleh Kafka.

Dalam kesepian yang menyesakkan Putri tetap menyusui buah hatinya dan Kafka melihat pemandangan itu dengan hati yang kelu.

Baru beberapa jam yang lalu rasa bahagia memenuhi hati keduanya, namun dengan cepat kebahagiaan itu kini berganti dengan rasa sakit.

"Sudah kenyang?" Putri bertanya lirih kepada bayi kecilnya yang sudah kembali tertidur lelap.

"Biar aku bantu." Kafka berniat mengambil alih bayi kecilnya dari Putri, namun Putri tak mengijinkannya.

Rasa perih menyelimuti hati Kafka. Sebenci itukah Putri pada dirinya sehingga ia pun tak diijinkan untuk menyentuh buah hatinya.

"Apa kamu jijik padaku?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Kafka.

Putri sudah kembali berbaring di atas tempat tidur, ia memilih diam sambil memejamkan matanya, menyembunyikan kabut hitam yang melingkupi retina matanya. Semua potret yang tadi ia lihat kembali memenuhi pikirannya.

"Aku sungguh tidak mampu merubah masa lalu." Kafka berucap lirih. "Maafkan aku sayang... aku harap kamu mau memaafkanku."

Putri membuka matanya, namun ia tak membalas tatapan Kafka. Ia lebih memilih untuk menatap ke arah bayi kecilnya. "Beri aku waktu Mas...." akhirnya Putri berucap. "Meskipun semua itu masa lalu tapi tetap saja hal itu membuatku sakit."

Kafka mengerti. Ia pun akhirnya memilih memberi waktu Putri untuk sendiri.

Putri menangis tersedu-sedu saat Kafka pergi meninggalkannya sendiri. Tangannya memukuli dadanya yang terasa sakit dan sesak.

Apakah dia begitu kekanak-kanakan karena merasa sangat marah dan benci pada Kafka dikarenakan sebuah foto yang diambil di masa lalu.

Tidak, hal itu tentu wajar dirasakan oleh seorang istri yang mencintai suaminya.

Istri mana yang akan merasa senang saat melihat foto suaminya bermesraan dengan wanita lain.

Batin Putri terus bergulat dengan segala pemikiran yang memenuhi kepalanya.

Tangis Putri baru reda saat Ibu telah kembali ke kamar dan langsung memeluknya.

"Apa yang harus Putri lakukan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Pernikahan Impian | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang