Eugénie—Ruby to her friends—was enjoying some much-needed alone time in one of her favorite hidden café, a cozy little spot in Saint-Germain-des-Prés. Kafe kecil ini merupakan perpaduan sempurna antara old-world charm and modern sophistication, dengan dinding bata terbuka, dan rak-rak yang dipenuhi buku-buku vintage. Perfect.
Ruby menyukai tempat ini karena ketenangannya, cukup jauh dari hiruk pikuk rumah mode, galeri, dan kehidupan sosial kelas atas yang terus berputar.
She sipped her café au lait, flipping through her sketchbook, absentmindedly jotting down ideas for her upcoming collection. Pikirannya dipenuhi ide-ide tentang siluet dan kain. Namun, meski sibuk dengan pekerjaannya, udara musim semi yang hangat membuatnya merasa rileks, seolah-olah kota ini sendiri sedang menghembuskan ketenangan ke dalam tulang-tulangnya.
Ketika seluruh elemen mendukungnya untuk merenung lebih dalam, suara tawa yang familiar memecah kesendiriannya. Ruby menoleh ke samping kirinya dan membeku, jantungnya berdebar lebih cepat.
Di sana, duduk di dekat jendela, ada dua pria yang tidak pernah ia sangka akan bertemu, apalagi bersama, di tempat ini: Jean-Pierre dan Joseph Hugo.
Joseph, dengan pesona yang santai dan kepribadian yang magnetis, sedang bercerita dengan penuh semangat tentang salah satu kisah konyolnya, membuat Jean tertawa terbahak-bahak—memang, Joseph selalu menjadi pusat perhatian dimanapun ia berada. Namun, bukan kehadiran Joseph yang membuat perut Ruby terasa mual. Melainkan sosok laki-laki di sebrangnya yang ia kenali sebagai Jean-Pierre.
Jean-Pierre. The art critic who could command rooms and shift markets with a single review. But more than that, he was someone whose history was tied inextricably with her dear friend Jeanne Roche. Ruby had heard rumors, of course—everyone in their social circles did—that Jean-Pierre was back in Paris.
But she had never expected to run into him like this, in such an ordinary moment.
Mengenai Joseph, Ruby sudah lama kenal dengannya. Keluarga Joseph bergerak di kerajaan luxury fashion layaknya keluarganya. Mereka selalu berinteraksi dalam lingkaran sosial yang sama, berbagi banyak pesta-pesta glamor. Terakhir kali ia bertemu Joseph adalah di sebuah gala seni, di mana pria itu membuat keributan dengan humor yang tidak sopan dan pilihan busana yang berani.
Ruby merasakan gelombang emosi mengalir dalam dirinya. Ia tidak bertemu Jean-Pierre selama bertahun-tahun, tidak sejak hari-hari dramatis yang melibatkan sahabatnya, Jeanne. Kehadirannya sekarang, setelah sekian lama, di kafe yang sama, terasa seperti humor aneh yang dimainkan oleh takdir.
Sebelum ia sempat memutuskan apakah akan keluar diam-diam atau mendekati mereka, Joseph melihatnya terlebih dahulu. Wajahnya langsung bersinar dengan tangan yang melambai ke arahnya.
"Oh there, my pretty lady!" he called out, standing up from his chair with a wide grin. "Or should I say, Ruby?"
Jean-Pierre, yang sedang asyik berbicara, berbalik di kursinya saat mendengar suara Joseph. Matanya bertemu dengan mata Ruby, dan untuk sesaat, dunia seolah berhenti. Ekspresinya berubah dari terkejut menjadi sesuatu yang sulit dibaca. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, Ruby masih bisa mengenali tatapan tajam dan penuh pemikiran itu.
Ruby ragu sejenak, namun Joseph sudah menghampirinya dengan penuh semangat guna memanggilnya untuk mendekat. "Come sit with us!" ajak Joseph.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Ruby menenangkan dirinya dan berjalan menuju meja. Dia bukan tipe orang yang menghindar dari situasi, tak peduli seberapa tak terduganya. Lagipula, rasa penasarannya tentang kehadiran Jean-Pierre di Paris terlalu kuat untuk diabaikan.
"Joseph, always full of surprises," Ruby berkata dengan senyum hangat seraya mendekat ke meja mereka, berusaha menjaga nada suaranya tetap ringan. Ruby lalu menoleh ke Jean-Pierre dan mengangguk dengan sopan. "Jean-Pierre, it's been a long time."
![](https://img.wattpad.com/cover/377105483-288-k224403.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeanne: Art In Life
RomansaTime truly has a way of changing things, of pulling people apart and leading them down different paths. I cling to the hope that maybe one day you will return, that the silence will be broken, and the wounds will heal.