One

327 13 1
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

Ibukota, penghujung 2026.

Langit ibu kota terlihat kelabu, seperti menyimpan rindu yang tertahan. Hujan rintik mengiringi langkah Salma menuju sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat ia sering menghabiskan waktu mencari ketenangan di sela hiruk-pikuk jadwalnya sebagai penyanyi. Kafe itu tak pernah terlalu ramai, dan itu yang ia suka, kesunyian yang penuh obrolan samar, aroma kopi yang menenangkan, dan suara musik akustik yang lembut.

Salma baru saja melepas jaketnya ketika seorang barista menyapanya, "iced americano, kayak biasa, Kak Salma?”

Ia lalu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, kayak biasa. Anterin di tempat bisa juga, ya."

"Eh, tapi maaf kak. Iced americano nya baru aja habis," kata barista itu lagi dengan cengiran lucunya, "mungkin mau pesan yang lain aja kak?"

Salma terkikik geli, "ya ampun, kenapa gak ngomong dari awal sih. pakai di tawarin dulu lagi, kocak banget nih orang!"

"Yaudah, Moccha latte low sugar, deh." Pinta Salma setelahnya.

"Ok, sip."

Namanya mungkin terkenal di layar kaca dan panggung-panggung besar, tapi di sini, ia hanyalah pelanggan setia yang selalu datang ketempat ini dengan kelelahan yang coba ia tepis kan sejenak. Di tempat ini, ia merasa bukan siapa-siapa, dan justru itu yang membuatnya nyaman.

Salma kemudian beranjak, mengambil tempat di sudut kafe, dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan jalan basah. Di luar, kendaraan berlalu-lalang terburu, seolah kehidupan terus berjalan meski hujan turun tanpa jeda.

Pandangan Salma tiba-tiba tertuju pada sebuah buku bersampul hitam pekat yang tergeletak di ujung meja. Ukurannya kecil, tidak mencolok, tapi terlihat seperti barang pribadi yang berharga. Halaman-halamannya tertiup angin yang masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Ia menatapnya dengan rasa ingin tahu. Tidak ada orang lain di dekatnya, seolah buku itu sengaja ditinggalkan.

Salma meraih buku itu perlahan, membuka halaman pertama yang kosong. Ia membalik halaman berikutnya dan mendapati tulisan tangan yang ia kenal sangat baik. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika membaca beberapa baris lirik lagu yang setengah jadi, dengan nama sebuah tulisan nama seseorang yang tampaknya hampir memudar.

Salma menutup buku itu dengan cepat, seolah takut tertangkap basah membaca sesuatu yang bukan miliknya. Tapi, pikirannya tak bisa berhenti bertanya, apakah seseorang itu ada di sini? Mengapa buku ini ada di mejanya?

"Salma?" Suara itu lembut, namun tajam menembus lamunannya.

Salma menoleh dengan ragu. Di sana, berdiri sosok yang sudah lama ia hindari-Rony. Pandangannya terpaku pada lelaki yang kini tengah menyeka sisa air hujan di wajahnya. Ia tampak sedikit berbeda, tapi tatapannya masih sama, hangat dan menusuk ke relung hati Salma yang selama ini ia kunci rapat.

"Kok lo di sini?" Rony mencoba tersenyum meski terlihat canggung.

Salma terdiam sejenak, lalu berusaha menyusun jawaban. "Gue... emang sering ke sini. Lo sendiri?"

"Baru nemu tempat ini. Ternyata nyaman juga, dan barusan juga gue habis dari sini." jawab Rony, lalu melirik bukunya. "Niatnya mau ngambil, buku ini, ketinggalan."

Salma mengangguk pelan, "oh, ternyata bener, buku Lo. Pantesan gak asing,"

"Masih kuat ingatan Lo. Banyak rahasia penting di dalamnya," Rony tersenyum, lalu menatap ragu. "Boleh gue, duduk?"

Salma ingin menolak, tapi lidahnya terasa kelu. Dalam hatinya, ada rasa tak nyaman bercampur rindu yang anehnya sulit ia kendalikan. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan, mengizinkan Rony duduk di hadapannya.

Rony mengambil tempat dengan hati-hati, menjaga jarak seakan takut membuat Salma merasa lebih tidak nyaman. Tatapannya sesekali melirik ke arah jendela, mencoba mencairkan keheningan yang mendominasi.

"Kita enggak ketemu dua tahun, ya," Rony membuka percakapan dengan suara nyaris berbisik, tapi cukup jelas terdengar.

"Dua tahun lebih," jawab Salma singkat, mencoba menjaga nadanya tetap netral. Meski hatinya bergemuruh, ia berusaha agar wajahnya tidak menunjukkan perasaannya.

Rony tersenyum tipis. "Iya, lama banget, ya."

Ada banyak hal yang ingin Salma tanyakan, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana. Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu rumit untuk diucapkan, terlalu berat untuk diurai di tempat yang sesunyi ini. Namun, melihat Rony lagi seperti membuka kenangan lama yang tak pernah benar-benar menghilang.

"Kabar Lo gimana? Baik-baik aja kan?" Rony bertanya, menatap Salma dengan mata yang menyiratkan perhatian tulus. "Gue sering lihat karya lo di mana-mana. Lo makin keren."

"Gue baik-baik aja, thanks ya." jawab Salma sambil tersenyum tipis, mencoba bersikap tenang. "Lo sendiri gimana? Gue lihat Lo juga makin ngartis sekarang,"

"Masih sama. Mungkin cuma lebih tua dikit," jawab Rony sambil terkekeh kecil. "Hidup emang berjalan, kan? Tapi kadang gue merasa ada yang hilang."

Mereka kembali terdiam. Suasana kafe yang tenang, denting sendok dari meja lain, dan suara hujan di luar jendela seolah mengisi kekosongan kata-kata yang tak terucap. Namun, di balik keheningan itu, ada banyak hal yang terasa menggantung di udara, seolah waktu dua tahun tidak mampu memadamkan semua perasaan yang mereka simpan.

"Sal," Rony akhirnya berbicara lagi. "Gue tau mungkin lo enggak mau denger, tapi gue... gue kangen ngobrol sama lo."

Salma menarik napas panjang, menenangkan debaran hatinya yang tak terkendali. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi bibirnya seperti terkunci. Ada banyak hal yang ia ingin tanyakan, banyak rasa yang ia ingin ungkapkan, tapi rasa takut selalu menahan langkahnya.

"Ron," Salma bersuara pelan, "gue juga begitu. Tapi, sekarang kayaknya keadaannya udah beda."

"Maaf," ucap Rony tulus, nadanya lembut dan dalam. "Gue tau semuanya rumit, tapi gue bener-bener berharap kita bisa baik lagi, setidaknya kita saling berteman."

"Mungkin... cuma gue butuh waktu buat terbiasa lagi. Banyak yang udah berubah," kata Salma sambil menatap jari-jarinya yang bermain di atas meja.

Ya, gue ngerti kok. Gue juga nggak bilang kita harus langsung kayak dulu." Rony tertawa kecil, meski matanya masih penuh makna. "Tapi nggak ada salahnya kan, pelan-pelan? Siapa tahu kita bisa ngobrol kayak dulu lagi, sedikit demi sedikit."

Kata-kata itu membuat dada Salma terasa sesak. Sebagian dari dirinya ingin pergi, menghindari semua perasaan yang ia tahu hanya akan membawanya kembali ke masa lalu. Namun, ada sisi lain dari dirinya yang ingin tinggal, berharap mungkin kali ini cerita mereka bisa berakhir dengan cara yang berbeda.

Di tengah keraguan itu, hujan semakin deras, memecah keheningan di antara mereka. Dan meskipun tak ada kata pasti yang diucapkan, pertemuan ini sudah cukup menggetarkan hati yang selama ini terdiam.

"Iya, mungkin kita bisa lihat, gimana nantinya."


🦋🦋🦋

Hellow!!
Welcome to the story!!
Terimakasih sudah membaca, I need your best support.
Gimana kaget gak? Pokoknya maafin aku ya, aku ini emang banyak salahnya. Habis ini aku usahain untuk konsisten sama cerita ini. Temenin aku terus ya vrenn.
See you next chapter, Babay vren🍭

Restu Semesta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang